Oleh | Ingot Simangunsong
PARA politisi pada “asyik kemusyuk” melemparkan wacana agar GUBERNUR dipilih langsung oleh Presiden.
Itu artinya – jika wacana tersebut menjadi kenyataan – maka selain kita kembali ke era Orde Baru (masa Soeharto), rakyat pun akan kehilangan “hak memilih”.
Namun, harapan kita, wacana itu perlu “dipatahkan”, agar pesta demokrasinya rakyat, benar-benar terjaga.
Sebenarnya yang sangat diharapkan dari kehadiran politisi di rumah-rumah partai politik, adalah bagaimana mereka dapat melakukan perubahan-perubahan agar pesta demokrasinya rakyat, dapat terjaga dalam bingkai “kedemokrasian” yang Pancasilais.
Kita pahami, bahwa politisi atau partai politik punya kepentingan-kepentingan dalam mengaktualisasikan kepartaian dan dirinya. Hal itu, sah-sah saja, dan rada manusiawi serta realistis.
Baca juga :
(PERENUNGAN) Pers BERMARTABAT
Tetapi, kepentingan-kepentingan yang sangat didambakan atau idealnya, adalah bagaimana partai politik atau para politisi, dapat lebih mengedapankan kepentingan orang banyak atau kepentingan nilai-nilai kebangsaan.
Kita yakin, “buku kuning” partai politik, berisikan “roh” membangun bangsa ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat yang lebih baik.
“Roh” itu, hendaknya, tidaklah hanya sebatas kumpulan kalimat yang dicantumkan atau ditorehkan pada lembaran “buku kuning”. Dimana, realita para politisi dan partai politik di lapangan, yang lebih dominan adalah bagaimana menggolkan kepentingan diri sendiri, kepentingan kelompok, kepentingan partai dan kepentingan golongan tertentu.
Jadi, tidaklah etis, saat era reformasi – yang mengedepankan pentingnya perubahan-perubahan di semua sektor – karena adanya anggapan tidak membuahkan hasil yang gemilang, maka harus kembali “jungkir balik” ke era Orde Baru (Soeharto).
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati pun menilai usulan gubernur dipilih langsung oleh Presiden seperti mengembalikan Indonesia ke masa Orde Baru (Orba), yang hal tersebut, hanyalah kepentingan pragmatis partai politik.
Baca juga :
PD Pasar Horas Jaya laksanakan penataan, Bolmen Silalahi: “KITA LAKUKAN SESUAI PERATURAN”
Semoga, apa yang disampaikan Wasisto Raharjo tersebut, dapat semakin membuka “mata kedemokrasian” rakyat semesta alam, Indonesia yang kita cintai. Agar pesta demokrasi rakyat, yang sudah sangat “dinikmati”, dapat berjalan sebaik-baiknya.
Politisi dan partai politik, seyogianya lebih fokus dalam meningkatkan “kecerdasan berpolitik” rakyat yang menjadi konstituen, pemilik suara kedemokrasian.
Ntahlah, jika memang para politisi di negeri ini, sudah “mewakafkan” diri mereka untuk menjadi POLITISI JAHAT atau POLITISI BUSUK, yang hendak menguatkan pembenaran dilakukannya “pencapaian satu tujuan dengan menghalalkan berbagai cara apa pun.”
Semoga rakyat semakin matang dan paham politik, agar “kemerdekaan hak memilih” tidak kembali “dikerangkeng” oleh birahi liar para politisi dan partai politik.
Jika sudah kita tanamkan bahwa Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan), maka kerja-kerja politisi dan partai politik, tidaklah lagi menjungkir-balikkan kembali ke Vox Rei, Vox Dei (Suara Raja adalah Suara Tuhan).
Jangan lepaskan “birahi politik” dengan membenam Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan).
Penulis, Ingot Simangunsong, Pimpinan Redaksi mediaonline segaris.co, inisiator #PenaJokowiCentreConnection, motivator #GerakanDaulatDesa Sumatera Utara dan relawan #DulurGanjarPranowo