TIDAK PUAS dengan tanggapan DPRD Sumatera Utara, massa melakukan konvoi dan berorasi di depan Kantor Wali Kota Medan.
Massa meminta supaya Wali Kota Medan, Bobby Afif Nasution, dapat membantu masyarakat lewat jalur Presiden RI, Joko Widodo.
Hal tersebut disampaikan, terkait sejarah tanah yang ditempati dan diusahai masyarakat Desa Bandar Baru di Dusun I dan Dusun V adalah tanah adat Kesultanan Deli Datuk Sepuluh Dua Tambah Sada (Datuk Hamparan Perak) dan bekas Perkebunan Teh Hok Seng Lea yang berdiri di zaman kolonial Belanda.
Perkebunan teh ini dulu disebut Bandar Baru Pondok sebab kala itu Bandar Baru terbagi dua, yakni Bandar Baru Central dan Bandar Baru Pondok.
Sejak tahun 1939, masyarakat sudah mulai mengusahai lahan itu yang dibuktikan dengan adanya makam leluhur masyarakat Desa Bandar Baru.
Sudah empat generasi masyarakat menguasai tanah itu. Dan sejak Indonesia merdeka di tahun 1945, tanah adat dan bekas Perkebunan Teh Hok Seng Lea, tidak digunakan lagi dan menjadi tanah terlantar. Karena kondisi itu, masyarakat Desa Bandar Baru melakukan penggarapan dan mengusahainya.
Sejarah tanah ini diuraikan Tomi Sinulingga, Kuasa Hukum masyarakat Desa Bandar Baru, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, ketika ratusan masyarakat desa tersebut menyampaikan aspirasinya di depan Gedung DPRD Sumut, Jalan Imam Bonjol, Medan, Rabu (25/01/2023).
Di hadapan ratusan masyarakat Bandar Baru yang datang dengan puluhan bus dan angkutan umum serta truk terbuka, Tomi melanjutkan orasinya dengan mengungkapkan bahwa pada tahun 1954, pemerintahan Presiden RI pertama, Soekarno, menyerahkan tanah tersebut kepada masyarakat Desa Bandar Baru melalui Asisten Wedana Kecamatan Sibolangit, 02 Desember 1954 untuk dipakai berdasarkan Undang-Undang Darurat tahun 1954.
“Sejak tahun 1962, banyak masyarakat di desa ini melakukan ganti rugi lahan pertanian dengan Kepala Kampung. Di tahun 1967, ada juga beberapa masyarakat yang membuka sawah baru dengan memakai tali air yang telah dibuat pemerintah Kabupaten Deli Serdang,” kata Tomi yang juga sebagai Komando Aksi di penyampaian aspirasi ini.
Bukti lain lagi, lanjut Tomi, terbitnya Surat Keterangan Tanah Nomor 084/KK/1979 tanggal 20 September 1979 atas nama Bela Bangun seluas 2,9 hektar yang terletak di Dusun V Desa Bandar Baru, Kecamatan Sibolangit, yang dibuat Kepala Kampung, Suka Tarigan, saat itu.
“Namun pada tahun 1970-an, masa pemerintahan Soeharto, Pemerintah Daerah Deli Serdang mengambil tanah itu secara paksa dari masyarakat untuk dipakai kegiatan Jambore Nasional tahun 1977, tanpa ganti rugi. Ada juga yang diberi Surat Pinjam Pakai atas nama Suka Tarigan, yang ditandatangani Bupati Deli Serdang, Baharudin Siregar, tertanggal 19 Januari 1976. Jika tidak diberi, ketika itu dicap PKI,” ungkap Tomi.
Baca juga :
WALI KOTA Medan janji akan remajakan BETOR
Tidak pernah melihat surat alas hak
Arfi Hasian Hasibuan yang bertugas sebagai Koordinator Lapangan, menambahkan, bahwa tahun 1988 Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) menerbitkan alas hak atas tanah kepada Kwartir Pramuka Daerah Sumatera Utara (KWARDASU) dengan Hak Pakai berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 2 dan Nomor 3 tanpa diketahui oleh masyarakat Desa Bandar Baru.
“Masyarakat tidak pernah melihat surat alas hak tersebut sampai saat ini. Hak Pakai hanya dikenal dalam UU Pokok Agraria dengan sertifikat Hak Pakai. Bukan dengan Surat Keputusan Gubernur,” kata Tomi.
Menurut Arfi, selama ini tidak ada konflik di desa tersebut. Bahkan banyak fasilitas umum dan kantor pemerintah yang sudah terbangun, diantaranya, sekolah, mesjid, gereja, Puskesmas, Kantor Desa, Kantor Camat, kamar mandi umum, dan lainnya.
“Tetapi anehnya, tanah yang tidak pernah diusahai mau pun dikelola Kwardasu, tetapi diklaim sebagai milik Kwardasu. Bahkan masyarakat Desa Bandar Baru dikriminalisasi dengan melaporkannya ke Polda Sumut dengan Nomor LP/B/1394/IX/2021/SPKT/Polda Sumut tanggal 06 September 2021 atas nama pelapor H. Nurdin Lubis, dengan tuduhan tindak pidana menguasai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah sebagaimana dimaksud Pasal 6 Ayat (1) UU RI Nomor 51 Prp Tahun 1961,” kata Arfi.
Baca juga :
DPRD Sumut segera minta penjelasan Pemprov Sumut soal PEMBELIAN LAHAN Medan Club
Diminta lakukan audit
Dalam tuntutannya, masyarakat Desa Bandar Baru meminta DPRD Sumut untuk segera memanggil Gubernur, Edy Rahmayadi, untuk dimintakan klarifikasinya dan segera menghentikan penggusuran terhadap masyarakat Dusun I dan V Desa Bandar Baru.
Mereka juga meminta kepada pemerintah pusat, DPR-RI, dan DPRD Sumut, untuk meninjau ulang kebijakan Gubernur tersebut. Satuan Tugas Mafia Tanah diminta untuk segera mengusut kasus ini karena dugaan adanya keterlibatan mafia tanah.
“Kami juga menuntut agar dilakukan audit dan pengusutan sumber pendanaan dalam upaya penggusuran masyarakat Dusun I dan V Desa Bandar Baru karena sudah menerbitkan Surat Peringatan II dengan menurunkan 850 personil gabungan TNI/Polri dan Satpol PP pada 09 November 2022 lalu,” kata Tomi saat membacakan tuntutan masyarakat.
Selain itu, masyarakat Desa Bandar Baru juga meminta kepada Komisi III DPR-RI untuk memerintahkan Kapolri menghentikan laporan polisi tersebut.
Massa akhirnya didatangi anggota DPRD Sumut, diantaranya Timbul Sinaga, Amad Adian, Berkat Kurniawan Laoly, dan Kasubag Humas DPRD Sumut, Muhammad Sofyan.
Kepada massa, Timbul mengatakan bahwa aspirasi akan diteruskan DPRD Sumut kepada pihak terkait lewat Rapat Dengar Pendapat yang nantinya akan digelar Komisi A.
“Soal masalah hukum, bukan merupakan kewenangan kami. Tapi kami akan berupaya membantu penyelesaiannya sebab dewan juga punya mekanisme,” kata Timbul.
Perwakilan massa 15 orang akhirnya diajak membahas hal tersebut di Ruang Rapat Banmus DPRD Sumut. RDP akan digelar secepatnya agar dapat dicarikan upaya penyelesaiannya. (Sipa Munthe/***)