Oleh | Ingot Simangunsong
SEBAGAI pimpinan – pada acara kogkwo-kongkwo yang rada serius – teman itu menyampaikan empat kata, diakhiri dengan tekanan “tanda tanya (?).”
“APAKAH KITA (masih) SATU PERAHU?”
Tentu, bagaikan sebuah paduan suara, jawaban yang terlepas, ya… : “(masih) SATU PERAHU, PIMPINAN?”
Teman itu pun, mengekspresikan wajah rada ketat, seperti menyimpan sesuatu yang sangat-sangat mengganggu kepemimpinannya.
Jawaban bernada paduan suara itu, tidak membuatnya terhibur. Malah semakin mengernyitkan kulit kening kepalanya.
ETIKA, MORAL dan ATTITUDE
Jika (masih) satu perahu, kata teman itu – dengan nada mengajak dan mengejek, tentu harus saling menjaga sebaik-baiknya menjaga, apa itu etika, moral dan attitude.
Perahu yang sudah atau sedang berada di tengah hamparan laut luas, yang sedang berhadapan dengan guncangan gelombang dahsyat, tidaklah harus ditambah dengan guncangan dari dalam.
Seperti apa pun, “pernak-pernik” atau “separah apa pun” kondisi di dalam perahu, tidaklah dijadikan sebagai alat atau bentuk perlawanan.
Etika, moral dan attitude, sebaiknya berperan dalam menguatkan pencapaian tujuan bersama. Kalau pun ada yang mengganjal, tetap pedomani kemusyawarahan untuk satu kemufakatan. Tidak ujuk-ujuk melakukan penekanan-penekanan yang menimbulkan “keberisikan-keberisikan”.
Itu pun, kalau “KITA (masih) SATU PERAHU”. Itu pun, kalau “KITA (masih) SATU dalam SEPEMAHAMAN”.
Baca juga :
rasa MUAK, rasa KECEWA
Tentang penumpang di perahu lain
Teman itu, menjelaskan tentang penumpang di perahu lain, yang “teriak-teriak” mengenai seisi perahu yang sedang dinakhodainya.
Katanya, biarkan saja mereka berteriak sekeras-kerasnya di tengah gelombang ombak tinggi, karena sekeras apa pun teriakannya, akan “lenyap” ditelan suara gemuruh ombak.
Artinya, diplomasi penanganannya, adalah meminjam suara gemuruh ombak, yang lebih dahsyat.
Yang perlu diperhatikan, adalah tangan-tangan mereka, jangan sampai membuang “kotoran” dari perahu mereka ke perahu kita. Itu perlu diamati, diawasi dan disiasati.
Baca juga :
Kehadiran MUI sangat dibutuhkan, DI BAWAH KEPEMIMPINAN Hj Susanti Dewayani, KERUKUNAN TETAP TERJAGA
Itu tentang penumpang di perahu lain – yang serasa mengawasi – aktifitas perahu yang dinakhodai teman itu.
Kemudian, kembali menyinggung di internal perahunya. Diingatkan, tentang jika sudah merasa “gerah” dalam perahu, secepatnya saja mengambil sikap. Keluar dari rombongan, dengan catatan, tanpa dibekali “sekoci”.
Kalau mau mencari “gading yang tak retak” di perahu ini, sudah pasti tidak ketemu. Jangan kan di perahunya, di perahu-perahu lainnya, juga tidak akan ketemu.
Saat ini, yang sedang dilakukan, untuk mencapai tujuan, adalah bagaimana menjaga agar “gading yang retak” tidak “semakin retak” atau “tidak menjadi berkeping-keping”.
Mari untuk tidak “GAGAL PAHAM” dalam mencapai tujuan bersama, di atas ETIKA, MORAL dan ATTITUDE. Itu pun, kalau “kita (masih) mau SATU PERAHU.”
Kalimat penutup yang cukup manis. Kening teman itu pun, kerutannya mulai mengendur.
Penulis, Ingot Simangunsong, Pimpinan Redaksi mediaonline segaris.co #RelawanDulurGanjarPranowo, inisiator #PenaJokowiCentreConnection, Motivator #GerakanDaulatDesa Sumatera Utara