Oleh | Ingot Simangunsong
BANYAK hal yang bersiliweran melintas di depan mata, adakalanya menimbulkan rasa MUAK dan rasa KECEWA.
Ketika media cetak, online dan elektronik (televisi/radio) sudah mengaburkan tiga fungsi utama sebagai “alat” penyampaian INFORMASI (dengan data yang akurat dan dapat dipertanggung-jawabkan), menyajikan karya EDUKASI dan HIBURAN, maka ada yang merasa “terluka” menimbulkan rasa MUAK dan KECEWA.
Saat tatanan sosial-budaya, “terobok-obok” oleh sikap barbarian, intoleransi dan sikap masa bodo, tidak sedikit yang “terluka”, dan lagi-lagi muncul rasa MUAK dan KECEWA.
Apalagi ditambah, penegakan hukum yang berkeadilan – yang disebut-sebut sebagai PANGLIMA TERTINGGI – faktanya, hanya pada batasan isapan jempol semata, itu juga memunculkan rasa MUAK dan KECEWA.
Seterusnya, ketika suatu masalah “diplesetkan” dengan “gorengan-gorengan kacangan”, tanpa cita-rasa – hanya untuk meningkatkan jumlah followers – rasa MUAK dan KECEWA, tidak dapat dihalau untuk tidak masuk dalam alam pikir, karena perasaan masih berada dalam bingkai NORMAL, WARAS.
Para “pengubah nyanyian kacangan”, seperti “menghalalkan” isu apa saja, untuk “digongseng” tanpa memikirkan, apakah ada yang tersakiti. Yang penting “ngegongseng”. Soal dampak, “ora urus”, karena “kuali followers” harus berada di atas kompor (api).
Yang WARAS, selalu saja diminta untuk “mundur selangkah”, menghindar dari pikiran-pikiran “jorok” yang tidak dilengkapi dengan data akurat.
Mundur selangkah – konyolnya, TIDAK DIPAHAMI pula – sebagai bentuk TOLERAN (menahan diri) untuk tidak balik mengganggu.
Pertama yang harus dimengerti dari defenisi toleran-intoleran adalah merupakan sebuah “tindakan”, bukan pikiran, apalagi sebuah aturan.
Disebut toleran, menurut Cohen (2004) adalah tindakan yang disengaja oleh actor dengan berprinsip menahan diri dari campur tangan (menentang) perilaku mereka dalam situasi keragaman, sekali pun actor percaya dia memiliki kekuatan untuk mengganggu (Cohen 2004, hal. 69).
Artinya, di dalam toleransi terkandung dua kata kunci, yang sekaligus berperan sebagai prinsip, yaitu (1) “kesengajaan” (intent), dan (2) “tidak-mengganggu” (Non–interference). Keduanya adalah element yang sama penting.
Russell Powell dan Steve Clarke dalam Religion, Tolerance and Intolerance: Views from Across the Disciplines, bahkan memposisikan elemen “tidak-mengganggu” sebagai inti dari toleransi. Dan sikap tidak-mengganggu ini harus bersifat direct, atau “tidak-mengganggu-secara langsung”.
MARI untuk sama-sama saling memahami, tentang TOLERAN, sebagai bentuk kemusyawarahan dalam mencapai kemufakatan. Agar rasa MUAK, atau rasa KECEWA, dapat mencair, dan tidak menjadi semakin MENGERAS.
Salam TOLERAN!!!
Penulis, Ingot Simangunsong, Pimpinan Redaksi mediaonline segaris.co, Relawan #DulurGanjarPranowo, inisiator #PenaJokowiCentreConnection, Motivator #GerakanDaulatDesa Sumatera Utara