DALAM UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, jelas-jelas telah mengatur soal Belanja Modal seperti aset tidak bergerak, termasuk belanja pembelian tanah dan aset di atas tanah.
Untuk pembelian aset tanah dan bangunan secara administrasi, alas hak tanah yang dibeli tidak bermasalah secara hukum dan selanjutnya peruntukkan bangunan tersebut juga tidak bertentangan dengan tujuan hendak dibelinya gedung atau aset itu.
Selanjutnya, dalam pembayarannya, mekanismenya juga cukup ketat, dimana harus diuji apakah usulan pembayaran sudah memenuhi aturan atau tidak. Artinya, alas hak tanah dan bangunan di atasnya sudah diuji secara hukum dan tidak ada permasalahan serta tidak ada potensi digugat di belakang hari.
Pernyataan tersebut dilontarkan Pengamat Anggaran, Elfenda Ananda, tatkala diminta tanggapannya, Senin (16/01/2023), melalui pesan WhatsApp (WA), terkait pembelian lahan Medan Club oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) dengan harga Rp457 miliar lebih yang didasarkan pada penilaian tim apresial yang dihunjuk Pemprovsu.
Merupakan CAGAR BUDAYA
Menurut mantan Direktur Eksekutif Forum Independen untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumatera Utara (Sumut) itu, dengan menyimak pemberitaan beberapa media, kelihatannya Gedung Medan Club merupakan cagar budaya yang rentan diubah fungsi dan struktur bangunannya yang rentan dengan masalah hukum.
“Apakah ini sudah jadi pertimbangan apabila peruntukan menjadi gedung satu atap dalam upaya pelayanan publik. Kita tidak tahu apakah ini sudah diketahui oleh pihak bagian hukum pemprovsu atau tidak? Atau Pemprovsu mengabaikan status bangunan ini?,” katanya.
Dia sangat menyayangkan bila Pemprovsu telah mengabaikan status bangunan tersebut. Dan kebijakan pembelian lahan seluas 13.931 M2 itu mengesankan Pemprovsu tidak bertanggungjawab terhadap uang dari APBD yang note bene dari pajak rakyat.
“Sebenarnya Pemprovsu harus transparan akan maksud dan tujuan membeli aset Medan Club,” tulisnya.
Dalam beberapa media, imbuhnya, diungkapkan bahwa aset ini untuk memadukan mengendalikan pusat pemerintahan di Sumut dengan asumsi pemikiran bahwa semestinya beberapa kantor Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemprovsu harusnya dekat dengan Kantor Gubernur Sumut (Gubsu), seperti Kantor Bappeda, Badan Kepegawaian dan Badan Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah (BPKAD), dan lainnya.
Masyarakat tidak pernah mendengar
Elfenda menambahkan, disebutkan Pemprovsu melalui Sekdaprovsu, apabila tidak dibeli sekarang akan sulit lagi mendapatkan aset yang strategis berdampingan dengan Kantor Gubsu.
“Soal alasan efektivitas kerja Pemprovsu terkait jarak yang tidak berdekatan, tentunya menjadi pertanyaan. Apakah selama ini hal tersebut menjadi permasalahan efektivitas kerja? Karena jarak menjadi alasan. Tentunya hal ini bisa dilihat dalam dokumen LKPJ tahunan bahwasanya efektivitas pelayanan kurang efektif karena jarak yang tidak berdekatan dengan Kantor Gubsu. Sayangnya, masyarakat tidak pernah mendengar permasalahan tersebut diungkap dalam permasalahan di dokumen Laporan Keterangan Pertanggunganjawab atau LKPJ,” katanya.
Menurutnya, kalau itu bagian permasalahan harusnya dipaparkan dalam dokumen LKPJ setiap tahunnya.
Soal ke depan akan sulit mendapatkan lahan yang strategis, tentunya hal ini bisa menjadi alasan sepanjang harga sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
Persoalan harga rawan dengan korupsi
Di samping itu, imbuhnya lagi, untuk pembelian aset harus menjadi prioritas dibanding kebutuhan lainnya. Dan soal harga, tentunya harus ada mekanisme yang terbuka, walaupun kabarnya sudah pakai tim apresial.
“Tentunya penilaian tim itu harus bisa diuji. Apakah harga sudah seusai ketentuan apa tidak. Karena, persoalan harga rawan dengan korupsi. Bila perlu di sampaikan ke publik,” tulisnya mengikuti alur pikirnya.
Baginya, soal prioritas pembangunan Sumut dengan mengutamakan pembelian Medan Club sebesar Rp 475 Miliar lebih, tentunya patut dipertanyakan disaat banyak prioritas pembangunan yang belum dapat dilaksanakan akibat keterbatasan anggaran.
Dianalogikannya, misalnya saja, ada pemberitaan gaji guru SMK belum dibayar pada pertengahan Januari. Pembangunan jalan seperti status jalan mantap dan pemeliharaan jalan provinsi secara rutin agar tidak mengalami kerusakan parah sebelum dibangun jalan agar lebih baik.
Paling tidak perawatan pemeliharaan setiap tahun harus berjalan agar jalan yang rusak tidak semakin parah. Justeru, jalan-jalan provinsi setelah era Edy Rahmayadi dan Ijek memimpin Sumut, kualitas jalan mantap menurun.
Lihatlah data OPD terkait dimana kualitas jalan mantap menurun. Dengan alasan anggaran terbatas serta Covid 19 sehingga diberlakukan refocusing serta perhatian yang kurang terhadap pemeliharaan jalan dengan lebih mengutamakan rehab Kantor Gubsu dan rumah dinas.
Rakyat akan menjadi korban
Harusnya tidak demikian! Anggaran pemeliharaan jalan, pagunya tetap disediakan walaupun hanya untuk pemeliharaan. Sebab, jalan menjadi urat nadi perekonomian daerah.
Kalau lebih mengutamakan kepentingan intenal ketimbang kebutuhan publik yakni jalan, imbuhnya lagi, maka rakyat yang akan menjadi korban akibat kebijakan Pemprovsu itu.
Untuk mencegah penilaian tersebut, Pemprovsu membuat program seolah-olah perhatian pada rakyat dengan membuat proyek Rp 2,7 Trilun yang penuh kontroversi.
“Padahal, kalau saja secara rutin dilakukan pemeliharaan enggak perlu heboh soal proyek Rp 2,7 Triliun itu,” kata Elfenda.
Disimpulkannya, kebijakan pembelian Medan Club oleh Pemprovsu dari sisi publik, jauh dari kebutuhan rakyat walau pun secara administrasi dan kelengkapan bisa saja diselesaikan oleh Pemprovsu.
Faktanya, bahwa Medan Club adalah cagar budaya. Dan masih ada prioritas yang lain. Sementara uang rakyat terbatas. Harusnya hal itu menjadi pertimbangan Pemprovsu. (Sipa Munthe/***)