Oleh| Valentino D.P Gultom
MANUSIA adalah mahluk yang multidimensional. Salah satu dimensinya yang menonjol adalah dimensi simbolik.
Ia menghidupi berbagai aneka simbol, dan dengan landasan itu manusia disebut animal symbolicum.
Manusia selalu hadir dan menghadirkan simbol sebagai wujud ekspresi dari dirinya. Wujud ekspresi manusia dalam simbol merupakan salah satu bentuk humanisasi atau pemanusiaan manusia.
Simbol menjadi salah satu bagian yang tidak terlepas dari diri manusia. Simbol adalah tanda yang menghadirkan sesuatu yang ditindakkan.
Sekali pun manusia tidak terlepas dari simbol, manusia itu juga merupakan simbol yang hidup.
Manusia dikatakan sebagai simbol yang hidup karena segala aktivitas yang dilakukan bersifat simbolis dan ekspresif.
Apa yang tampak pada tubuh manusia adalah ungkapan dari dalam diri seseorang tersebut.
Manusia dan simbol merupakan dua kenyataan yang tidak bisa dilepaskan. Manusia yang selalu hadir dan menghadirkan simbol juga tidak terlepas dari kebudayaan.
Kebudayaan yang ada pada diri manusia itu hidup karena simbol. Simbol juga merupakan bagian dari kebudayaan dalam kaitannya dengan manusia.
Manusia dan kebudayaan merupakan dua bagian yang dihubungkan oleh simbol. Simbol merupakan bagian yang menghidupkan dan mempererat manusia dan kebudayaan.
Dengan simbol, manusia mengalami kehangatan dan rasa aman dalam masyarakat atau budaya yang dihidupi.
Dengan kata lain, simbol menyentuh afeksi dan relung jiwa manusia yang terdalam sehingga membawa manusia pada kesadaran yang terdalam untuk menjaga kebudayaan yang dihidupi.
Secara konkret, penulis memberi gambaran bahwa manusia, simbol dan kebudayaan sama dengan tubuh, jiwa dan roh.
Pada tulisan ini, penulis hendak mengulas secara filosofis bagaimana simbol tersebut terjadi dan hidup dalam keseharian manusia.
Mari kita lihat dari perspektif kebudayaan Batak Toba. Suku Batak menjadi salah satu suku yang memiliki banyak sejarah khusunya pada bagian simbol.
Simbol-simbol yang ada pada kebudayaan Batak Toba tampak pada ritual, adat atau ornament-ornamen yang ada. Salah satu simbol yang sampai hari ini hidup dan dilestarikan salah satunya ialah Ulos.
Ulos merupakan kain tenun khas Batak yang dikenal secara umum. Ulos merupakan kain panjang yang berbentuk selendang dengan memiliki berbagai corak dan fungsi yang berbeda.
Ada berbagai jenis macam Ulos, namun yang akan diinterpretasikan penulis adalah makna Ulos secara umum dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.
Dalam keseluruhan hidup masyarakat Batak Toba, Ulos menjadi sesuatu yang sangat berharga. Dalam buku filsafat Batak yang ditulis T.M Sihombing tentang kebiasaan-kebiasaan adat istiadat, ia mengatakan bahwa “Ulos merupakan pengikat kasih sayang antara seseorang dengan orang lain.”
Dalam hal ini, kesenian selalu melukiskan sebuah unsur atau aspek alam kodrat ditambah tanggapan atau pengolahan manusia.
Pengolahan itu tampak pada kadar eksistensi dalam ragam jenis barang yang diyakini secara bersama memiliki nilai keindahan. Semuanya itu mengandung unsur keindahan.
Menurut tradisi yang ada, Ulos merupakan salah satu warisan budaya Batak yang sampai hari ini eksistensinya tetap terjaga.
Ulos merupakan kain tenun Batak yang diyakini memiliki nilai religius dan sosial. Nilai-nilai itu tampak ketika ulos dipakai dalam acara-acara atau adat-istiadat. Contohnya dalam acara pernikahan, ulos menjadi salah satu syarat sahnya adat pernikahan.
Kemudian, ulos juga menjadi pemersatu diantara masyarakat Batak. Kemudian, eksistensi ulos tergantung pada populasi masyarakat Batak yang setia untuk menjaga dan menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Kecenderungan yang terjadi saat ini pada masyarakat Batak Toba, ulos serta penggunaannya tidak dihayati secara penuh. Pemaknaan ulos hanya terjadi pada acara-acara tertentu yang berkedok fashion.
Ulos merupakan jati diri orang Batak. Sekali pun pemaknaan yang terjadi sudah berkurang dari sebelumnya, ulos akan tetap menjadi identitas bagi masyarakat Batak Toba.
Simbol ulos sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hubungan kekeluargaan akan tetap hidup dalam dinamika kehidupan orang Batak yang setia dan menjaga nilai serta hakikatnya.
(Penulis, Mahasiswa St. Thomas, Fakultas Filsafat dan Teologi Pematang Siantar)