ADANYA sejumlah SPANDUK LIAR yang bertebaran bersamaan dengan kedatangan Anies Baswedan ke Yogyakarta, Rabu 16 November 2022 dipastikan bagian dari strategi marketing politik.
Sengaja dilakukan oleh kelompok atau tim dengan tujuan agar Anies Baswedan seperti sedang “terzalimi”.
Strategi ini dianggap masih efektif dalam menarik simpati publik, “berlaku sebagai korban” untuk menaikkan elektabilitas.
SBY berhasil mengemas dirinya sebagai “korban kezaliman”, hingga berhasil memenangkan Pilpres 2014.
Kemudian banyak orang mengikutinya sebagai “orang yang dizalimi” oleh lawan politiknya demi memenangkan pertarungan politik.
Bahkan hingga saat ini, SBY pun masih menggunakan strategi politik lama, demi memuluskan langkah politik anaknya, AHY.
Tuduhan SBY bakal ada kecurangan Pemilu 2024, yakni pengaturan Pilpres hanya diikuti dua pasangan calon, sebagai upaya menjadikan dirinya dan anaknya AHY sebagai pihak yang “terzalimi”.
Berbeda dengan pengalaman Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama di Pilkada DKI Jakarta 2017. Ada gerombolan warga mengusir dan memasang spanduk menolaknya.
Orang berani melakukan tindakan yang bertentangan dengan Pasal 187 UU No.1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Pasal tersebut mengatur pelarangan bagi setiap orang untuk mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye, dengan ancaman pidana 6 bulan atau denda maksimal 6 juta.
Penolakan dan pemasangan spanduk terhadap Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2017 jelas dilakukan oleh pendukung Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono.
Ahok dianggap sebagai “lawan berat”, sehingga semua hal harus dilakukan untuk mengalahkannya. Ahok akhirnya kalah di putaran kedua, meski pun menang di putaran pertama.
Dari peristiwa penolakan dan pemasangan spanduk yang dialami Ahok, jelas bahwa kelompok yang berani dan mampu melakukannya hanya pendukung Anies dan AHY.
Kelompok mereka yang berani menolak dan memasang spanduk penolakan terhadap calon gubernur.
Maka pihak yang seharusnya dituduh memasang spanduk liar “Tolak Anies” adalah pendukung Anies dan AHY di Pilkada DKI Jakarta 2017 atau paling tidak orang- orang yang belajar dari mereka.
Penghinaan terhadap warga Yogyakarta
Pemasangan spanduk liar itu merupakan penghinaan terhadap masyarakat Yogyakarta.
Bagaimana mungkin warga dengan dinamika politik paling sejuk di Indonesia, mampu melakukan itu.
Maka sesungguhnya, selain upaya “terzalimi”, pemasangan spanduk itu juga upaya mengusik dan menghina masyarakat Yogyakarta yang terkenal terbuka.
Sebagai alumni UGM, sangat tidak mungkin Anies Baswedan ditolak warga di kota tempat dia pernah belajar.
Kedatangannya ke Medan pekan sebelumnya, meskipun disambut dengan cara “berlebihan” sejak dari bandara oleh pendukungnya pun tidak ada orang marah, apalagi memasang spanduk.
Beberapa ruas jalan di Medan terpaksa ditutup maupun dialihkan pun orang “nrimo”.
Senjata makan tuan
Jika pemasangan spanduk liar di Yogyakarta itu tidak dilakukan sendiri oleh pendukung Anies Baswedan, maka peristiwa ini seperti peribahasa” Senjata Makan Tuan”.
Pendukung Anies dan AHY menggunakan spanduk sebagai senjata menolak Ahok, kini spanduk juga digunakan sebagai senjata menolak Anies.
Dengan peristiwa ini, Anies perlu mengingat senjata apa saja yang digunakannya saat berjuang mengalahkan Ahok.
Kontestasi politik itu sejatinya adu ide, gagasan, program untuk merebut hati rakyat, bukan menggunakan cara- cara primordial berbasis SARA.
Para kandidat yang bertarung di Pilpres 2024, hendaknya tidak menggunakan senjata kebencian, permusuhan, perundungan untuk meraih kemenangan.
Sebab senjata itu, selain dapat melukai orang lain, juga dapat melukai diri sendiri dan bangsa kita.
Para kandidat Pilpres 2024 perlu meneladani Prabowo Subianto dalam hal kerendahan hati menerima kekalahan dua kali, dan kemudian bersedia menjadi pembantu orang yang mengalahkannya.
Sutrisno Pangaribuan, Antitesis Anies Baswedan, Presidium Kongres Rakyat Nasional (KoRaN).