“SEBAGAI kepala sekolah bersama para guru, kami tidak hanya sebatas melaksanakan tugas terkait proses belajar mengajar saja, tetapi juga memperhatikan bagaimana kondisi anak didik, sehingga mereka benar-benar mendapatkan kesempatan belajar.”
Hal tersebut disampaikan Sugiem S.Pd SD, yang sejak 16 Juli 2018, menduduki jabatan Kepala SD Negeri 097799 Bandar Selamat, Kecamatan Dolok Batu Nanggar, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara kepada segaris.co di ruang kerjanya, Kamis (13/10/2022).
Sugiem memberi contoh, ketika seorang anak didik tidak dapat mengikuti pelajaran, pihak sekolah tidak hanya sebatas mengabsen dan kemudian memberi keputusan untuk mengeluarkan siswa dari sekolah.
“Kita wajib untuk mencari tahu apa yang menyebabkan anak didik tidak masuk sekolah, tentu ada masalah yang tidak disebutkan anak-anak. Kita patut untuk mencari tahu sebelum mengambil tindakan,” kata Sugiem yang juga menjabat Bendahara Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Simalungun periode 2022-2027, dan Sekretaris K3S Kecamatan Dolok Batu Nanggar itu.
Hal itulah yang dilakukan Sugiem, terhadap anak didiknya, Dian Syahputra dan Ramadayanti (abang-beradik), Ameliana dan Aisyah (kakak-beradik), Wagiran serta Friska Pasaribu.
Keenam anak didik tersebut, menjadi perhatian khusus bagi Sugiem karena ketidakmampuan orangtua secara ekonomi untuk menyekolahkan, karena problem keluarga dan sebagainya.
“Saya datangi rumah mereka masing-masing, untuk mengetahui bagaimana kondisi kehidupan keluarganya. Mereka memang sangat membutuhkan bantuan agar tetap mendapatkan kesempatan belajar,” kata Sugiem.
Baca juga :
Zocson Midian Silalahi: “Rapat koordinasi kemitraan BBGP, berdampak pada peningkatan kunjungan wisatawan ke Parapat”
Wagiran, anak piatu (tidak punya ibu), hidup bersama ayah dan abangnya. Kehidupan Wagiran yang serba kekurangan dan memprihatinkan, kadang makan dan kadang tidak.
Wagiran sempat tidak sekolah, karena sehari-harinya, harus membantu abangnya mencari buah pinang untuk dijual agar dapat membeli beras.
Dian Syahputra bersama adiknya Ramadayanti, karena kedua orangtuanya bercerai, harus tinggal bersama kakeknya yang tidak dapat beraktifitas apa pun.
Sementara itu, Ameliana Nasution (siswa kelas VI) dan adiknya Aisyah Nasution, kadang sekolah dan kadang tidak. Ibu mereka yang mencari nafkah seorang diri, harus meninggalkan anaknya. Sehingga, Ameliana Nasution tidak sekolah karena harus menjaga adik-adiknya. Mereka tinggal di rumah kontrakan.
“Sekarang mereka sudah sekolah seperti biasa,” kata Sugiem.
Kartu Indonesia Pintar
Sugiem pun melirik Program Indonesia Pintar (PIP) dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP), yang dirancang Kementerian Pendidikan untuk membantu anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin/rentan miskin/prioritas tetap mendapatkan layanan pendidikan sampai tamat pendidikan menengah, baik melalui jalur pendidikan formal (mulai SD/MI hingga anak Lulus SMA/SMK/MA) mau pun pendidikan non formal (Paket A hingga Paket C serta kursus terstandar).
Melalui program ini pemerintah berupaya mencegah peserta didik dari kemungkinan putus sekolah, dan diharapkan dapat menarik siswa putus sekolah agar kembali melanjutkan pendidikannya. PIP juga diharapkan dapat meringankan biaya personal pendidikan peserta didik, baik biaya langsung mau pun tidak langsung.
“Saya pun bersama para guru dan bekerjasama dengan Pangulu, membangun kerjasama agar anak-anak dari keluarga tidak mampu dan rentan miskin, untuk mendapatkan bantuan biaya pendidikan melalui KIP,” kata Sugiem.
Peranan pengulu, kata Sugiem, terkait memenuhi ketentuan administrasi kependudukan bagi keluarga tidak mampu dan rentan miskin.
“Bersyukur, limapuluhan lebih anak didik kami, sudah berhasil mendapatkan KIP, dan bahkan sudah ada yang menerima dananya,” kata Sugiem.
Wagiran, siswa kelas IV, atas perjuangan Sugiem, sudah menerima bantuan dari KIP.
“Wagiran dengan hati senang menyampaikan ke saya, uang sudah diambil dan dibelikan untuk baju olahraga serta kebutuhan sekolah,” kata Sugiem.
Baca juga :
SD Negeri 091473 Plus Tiga Balata dikukuhkan sebagai Sekolah Penggerak, Riong boru Silaban: “Terimakasih Pak Bupati”
Lomba menata ruang belajar
Untuk meningkatkan penataan ruang belajar yang kelihatan asri dan nyaman, Sugiem pun menggelar lomba menata ruang belajar yang di dalamnya melibatkan guru kelas dan anak didik.
“Ketika pertama kali saya sampai di sekolah ini, kondisinya sungguh memprihatinkan, dan saya bersama para guru berpacu membuat perubahan-perubahan. Ruang kerja kepala sekolah dan ruang pertemuan ditata serapi mungkin, kemudian untuk ruang belajar saya buat lomba. Saya siapkan tropi dan sertifikat bagi setiap pemenang,” kata Sugiem yang mengajak segaris.co melihat ruang belajar Kelas IV yang guru kelasnya, Nurhayati boru Tambunan SPd.SD.
Hasil memang luar biasa, saat berdiri di pintu ruang belajar, melihat ke depan terdapat ruang baca mini yang ditata apik dan kelihatan tropi penghargaan. Pada sisi kiri pintu masuk, terdapat meja yang di atasnya tersusun rapi hasil kerja tangan anak didik. Kemudian bangku belajar yang juga tersusun rapi.
“Untuk halaman sekolah, yang dulunya kelihatan semrawut, kini sudah tertata rapi dengan berbagai jenis tanaman bunga dan pepohonan rindang. Saya pekerjakan satu tukang kebun, untuk menjaga kebersihan lingkungan sekolah,” kata Sugiem.
Baca juga :
PDPHJ Pematang Siantar, Toga Sihite: “Yang kami tuntut selama ini, modal dasar yang harus distor”
Bazar buku tanpa paksaan membeli
Pada kesempatan itu, Sugiem juga menyampaikan, bagaimana sekolah tetap membuka pintu bagi siapa pun yang berkeingin melaksanakan bazar buku dengan catatan tidak mengganggu proses belajar mengajar dan tidak memaksakan untuk membeli.
“Kalau mereka melaksanakan bazar buku, kita beri kesempatan, karena setiap buku sudah pasti memiliki nilai tertentu untuk memenuhi kebutuhan menambah pengetahuan anak didik kita. Kalau hanya berharap pada buku pokok, pengetahuan mereka tidak bertambah,” kata Sugiem.
Menurut Sugiem, para pelaku bazar buku, dapat memahami apa yang disampaikan, dan benar-benar tidak ada paksaan untuk membeli.
Para pelaku bazar, hanya sebatas memamerkan buku dan membagikan brosur, seperti bazar buku dengan judul “Pintar Ulangan Tematik.”
“Siswa kita ada 170 orang, tidak semuanya membeli buku tersebut. Hanya puluhan siswa saja, tidak sampai 50 siswa, itu pun yang orangtuanya memang mampu. Demikian juga guru, tidak semua guru membeli buku di bazar tersebut. Jadi, tidak ada paksaan, karena kami juga sangat memahami bagaimana kemampuan orangtua anak didik kami. Kemudian, pelaku bazar berkomunikasi langsung kepada para orangtua melalui surat, jadi kembali kepada kemampuan para orangtua anak didik,” kata Sugiem. (Fredy Siahaan/Ingot Simangunsong/***)