RATUSAN nelayan dari berbagai daerah di Sumatera Utara (Sumut), dengan mengatasnamakan Aliansi Nelayan Kepiting Bakau Sumut, menyambangi Gedung DPRD Sumut, Senin (03/10/2022), menyampaikan keberatannya terkait diterbitkannya Permen KP Nomor 16 Tahun 2022. Bahwa dalam Permen KP yang merupakan pembaharuan dari Permen KP Nomor 17 Tahun 2021 ini, para nelayan kepiting bakau dilarang menangkap dan menjual kepiting di bawah ukuran yang telah ditetapkan dan dalam kondisi bertelur, atau biasa disebut jimbo. Selain itu, dalam Permen itu, nelayan hanya diperbolehkan menangkap dan menjual kepiting bakau atau karapas dengan lebar di atas 12 CM per ekor.
Nelayan yang berasal dari Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Langkat, Simalungun, Batubara, dan daerah lainnya di Sumut ini, diterima Meilizar Latief, anggota Komisi C.
Kepada massa nelayan, Meilizar menjelaskan kalau Ketua dan pimpinan DPRD Sumut sedang melakukan kunjungan kerja ke luar daerah.
“Saya mewakili dewan, sebab tidak ada anggota dewan lainnya yang hadir. Agar perwakilan nelayan, membuat surat pernyataan tentang masalah yang dihadapi untuk nantinya dapat kami bahas dan diteruskan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),” terang Meilizar.
Baca juga :
3.000 perempuan PARADE BERKEBAYA bersama Ibu Negara
Setelah melakukan negosiasi untuk mendalami masalah yang disampaikan para nelayan, Meilizar yang juga Wakil Ketua DPD Partai Demokrat Sumut, mengajak perwakilan nelayan untuk membahas keluhan nelayan di Ruang Banmus DPRD Sumut.
Dalam pertemuan, Sulistauhid, pelaku usaha kepiting bakau dari Belawan, mengaku terkejut karena telah diberlakukannya Permen tersebut. Seyogyanya, katanya, harus ada terlebih dahulu dilakukan sosialisasi kepada para nelayan. “Tapi tiba-tiba, kenapa ada pemberlakuan Permen KKP tersebut,” keluhnya.
Dijelasknnya, umumnya para nelayan melakukan budidaya kepiting bakau yang bertelur, mulai dari satu hingga tiga bulan. Dan kepiting ini harganya yang lumayan buat nelayan.
Sulis juga mengaku kalau kepiting di Sumut relatif kecil. Sementara, Menteri KKP memakai standar tolok ukurnya daerah Papua yang ukuran kepitingnya memang besar yang bisa mencapai seekornya satu kilogram. Sedangkan kepiting di Sumut, kecil atau berukuran tiga ons per ekornya.
Ahmad Fauzi, nelayan dari Medan Marelan, menyebutkan kalau hasil tangkapan kepiting di daerahnya tidak laku karena tidak mencapai ukuran. Hal itu akan membuat nelayan menderita.
Baca juga :
Di hadapan Mahasiswa Baru USI, Radiapoh Hasiholan Sinaga: “USI diharapkan melahirkan entrepreneur untuk membangun Simalungun”
“Kami berharap keluh kesah nelayan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo sebab masa pemerintahan SBY, nelayan tidak ada masalah seperti ini,” ucap Fauzi.
Sedangkan nelayan dari Langkat yang hadir dalam pertemuan itu, mengeluhkan lahan yang telah berubah jadi kebon sawit. Katanya, nelayan mati karena kepiting sebagai lahan usaha, sudah tidak ada lagi.
Nelayan dari Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang mengaku menjerit dengan adanya Permen itu karena tangkapan kepiting harganya anjlok. “Tolong agar harga kepiting dapat dikembalikan ke harga semula sebab lahan tangkapan juga sudah sangat terbatas dengan banyaknya hutan mangrove berubah jadi kebun sawit,” pintanya kepada Meilizar.
Diungkapnya, saat ini harga kepiting ukuran kecil untuk petambak, awalnya dari Rp 30 rb per kilogram, sekarang sudah Rp 15 ribu.
Keluhan senada disampaikan perwakilan nelayan dari Serbelawan, Kabupaten Simalungun. Dikatakannya, soal alih fungsi hutan mangrove jadi kebun sawit membuat masalah bagi nelayan. Limbah kebun sawit mengurangi pendapatan nelayan.
Penjelasan nelayan dari Simalungun tadi, diperkuat dengan penjelasan nelayan Pulau Sicanang, yang mengakui kalau aturan KKP tersebut untuk menjaga supaya kepiting tidak punah. Tapi, sambungnya, seekor kepiting betina, telurnya jutaan butir sehingga sulit dimengerti kalau aturan tersebut bisa dibuat Menteri KKP. Sebab kebijaka menteri tersebut membuat nelayan yang punah. Bukan kepitingnya yang punah.
Nelayan, ungkpnya, tidak boleh membuat empang paluh. Padahal, empang itu untuk menjaga hutan mangrove. Kalau pemerintah ingin menjaga lestrinya kepiting, maka berilah nelayan lahan untuk membudidayakan kepiting.
“Limbah sawitlah yang membunuh habitat kepiting bakau yang ada di daerah pesisir. Bukan hanya kepiting, tapi udang dan jenis lainnya juga mati. Selain itu, berdirinya sejumlah perumahan di kawasan pesisir, dan berubahnya hutan mangrove menjadi kebun sawit dan insdustri lainnya yang menjadi penyebab kekhawatiran hal itu,” tegas nelayan itu.
Mennggapi keluhan tersebut, Meilizar berjanji akan mengundang seluruh pimpinan nelayan tersebut, untuk membawa masalah itu nantinya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) setelah mendiskusikan hal tersebut kepada Baskami Ginting, sebagai Ketua DPRD Sumut.
“Setelah itu nantinya akan mengupayakan dalam rapat fraksi Demokrat untuk dapat menindaklanjuti permasalahan para nelayan itu seraya dapat melakukan peninjauan langsung ke lokasi yang telah mereka beberkan dalam pertemuan tadi,” tuntas Meilizar di ruang kerjanya. (Sipa Munthe/***)