GUBERNUR Sumatera Utara (Sumut), Edy Rahmayadi, dituding telah gagal menyelesaikan konflik pertanahan yang ada di Sumut. Selain itu, mafia tanah belum satupun mampu disentuh oleh hukum meski faktanya mereka kerap menteror dan mengintimidasi warga masyarakat pemilik tanah.
Tudingan itu dilontarkan dua gelombang massa aksi dengan mengatasnamakan Komite Rakyat Bersatu (KRB) dan Akumulasi Kemarahan Buruh dan Rakyat Sumatera Utara (AKBAR SUMUT), saat berunjuk-rasa di depan Kantor Gubernur Sumut, Jalan Diponegoro, Medan, Senin (26/09/2022).
KRB dalam orasinya juga mendesak untuk segera dibubarkan Tim Inventarisasi & Identifikasi Penanganan Permasalahan Tanah Eks HGU PTPN II yang diduga kuat srat dengan kepentingan mafia tanah.
“Dalam aksi ini, kami meminta KPK untuk mengusut dan mengaudit Tim Inventarisasi & Identifikasi yang tidak transparan ke publik. Kami juga minta untuk segera ditangkap seluruh pejabat PTPN II yang telah melakukan penjualan tanah begara seluas ± 8000 Hektar Kepada PT. Ciputra tanpa melihat kepentingan rakyat di atasnya !!,” teriak orator dari atas mobil komando.
Ratusan massa pendemo yang datang dengan mengendarai puluhan sepeda motor dan angkutan umum itu, meminta supaya Edy Rahmayadi sebagai Gubernur Sumut menyelesaikan seluruh jonflik agraria di Sumut dengan mengembalikan tanah rakyat yang telah dirampas oleh perusahaan perkebunan milik negara, seperti PTPN 2, PTPN 3, dan PTPN 4, serta perusahaan perkebunan swasta asing maupun nasional, diantaranya PT. Bridgestone, PT. Soeloeng Laoet, PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL), dan lainnya.
“Tutup TPL,” teriak massa pendemo.
Orator dalam orasinya mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya raya, subur dan makmur, gemah ripah loh jinawi. Namun sayangnya, kekayaan alam yang begitu melimpah tidak mampu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya, terutama bagi rakyat miskin dan kaum tani yang kekurangan lahan–lahan produksi sebagai sumber pendapatan ekonominya dikarenakan terjadinya ketimpangan penguasaan atas tanah di negara ini.
Menurut massa, pemerintah juga gagal mendistribusikan tanah sebesar-besarnya kepada rakyat miskin dan kaum tani yang membutuhkannya.
“Malah negara atau pemerintah lebih cenderung memberikan mayoritas penguasaan dan pengelolaan tanah kepada para pemodal dan perusahaan besar, baik swasta dalam negeri maupun asing, yang pada akhirnya terjadilah persoalan perampasan tanah dan konflik pertanahan dimana-mana, terkhsusus di Sumatera Utara,” beber orator di hadapan ratusan massa yang mendapat penjagaan ketat oleh aparat kepolisian dari Polrestabes Medan serta Satpol PP Pemprov Sumut.
Konflik-konflik tersebut, sambung orator, terkesan dibiarkan dan tak satupun mampu diselesaikan di era pemerintahan Joko Widodo saat ini.
KRB dan AKBAR SUMUT, dalam orasi yang dilakukan secara bergantian itu mengungkapkan, tidak selesainya konflik agraria pertanahan ini juga diakibatkan oleh ulah para oknum yang ada di instansi pemerintah seperti di BPN, Pemerintah Provinsi (Pemprov), Pemerintah Kabupaten (Pemkab), dan juga pada instansi vertikal negara yang ada di daerah yang terlibat dalam sindikat mafia tanah.
Akibatnya, proses penyelesaian sengketa menjadi lama yang menyita energi banyak pihak, terlebih para petani yang selalu dikorbankan oleh para sindikat mafia tanah itu.
Kedua organ tersebut, lewat oratornya mengungkap, bagian dari bentuk mafia tanah adalah adanya jual beli tanah negara secara sepihak dengan mengabaikan kepentingan rakyat banyak, adanya sertifikat ganda, penerbitan sertifikat baik HGU, HGB, SHM yang masih bersengketa.
“Ini memcerminkan bahwa Gubernur Sumut telah gagal dalam menyelesaikan konflik pertanahan yang ada di Sumut tercinta ini. Lihat saja, Tim Inventarisasi dan Identifikasi Penanganan Permasalahan Tanah Eks HGU PTPN II yang tidak mengikutsertakan DPRD, aktivis agraria, maupun para jurnalis ke dalam tim tersebut. Ada apa denganmu Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi ? Patut diduga bahwa Edy Rahmayadi juga adalah mafia tanah. Perlu diketahui, bahwa perjuangan tanah eks HGU PTPN II seluas 5.873,06 hektar adalah buah perjuangan rakyat dan reformasi. Kenapa Tim Inventarisasi & Identifikasi itu tidak transparan dalam menentukan syarat dan prasyarat pengajuan untuk pelepasan dan sertifikasi ? Tim tersebut juga terkesan sepihak dalam membuat kebijakan dan patut diduga kuat, ada keterlibatan mafia tanah di dalam tim tersebut,” hunjak orator.
Orator juga membeberkan salah satu indikator keberadaan mafia tanah dalam tim tersebut adalah adanya tindakan pengukuran yang dilakukan oleh Tim Inventaris pada Desember 2021 lalu, tanpa diketahui siapa pemohonnya.
KRB dan AKBAR SUMUT juga menyebut bahwa konflik pertanahan yang begitu berkepanjangan, juga mensaratkan bahwa pemerintah tidak serius dan cenderung “bermain api” di dalam penyelesaiannya.
“Padahal kita ketahui bahwa Bapak Presdien Joko Widodo sudah memerintahkan Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi, untuk segera menyelesaikannya, namun tak juga selesai. Padahal sudah ada Perpres Nomor 86 Tahun 2018 dan Pidato Presiden Jokowi yang menjelaskan bahwa tanah-tanah yang sudah diduduki, dikuasai dan diusahai rakyat agar diberikan kepada rakyat. Tapi apa lacur ?? Malah terjadi upaya–upaya penggusuran ataupun eksekusi serta penyerangan–penyerangan terhadap lahan dan petani di sejumlah tempat, seperti di Patumbak, Binjai, dan daerah lainnya,” ujar orator lainnya.
Selain itu, massa pendemo menuding sengketa agraria pertanahan di Sumut semakin diperparah dengan adanya penjualan tanah-tanah negara yang dilakukan oleh PTPN II kepada PT.Ciputra seluas ± 8.000 hektar.
“Negara ini bukan punya nenek-moyang PTPN 2, akan tetapi milik bangsa dan rakyat Indonesai. Tapi kenapa PTPN 2 secara sepihak menjualnya kepada PT. Ciputra. Ada apa ini ?? Dan kenapa DPRD Sumut diam atas adanya penjualan tanah negara tersebut ??,” tuduh orator lainnya.
Aksi sempat memanas tatkala Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut gagal menghadirkan Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi, secara langsung di hadapan ratusan massa pendemo.
Dalam tuntutannya, kedua organ tersebut mendesak agar Pemprov Sumut menyelesaikan seluruh konflik agraria pertanahan yang terjadi di Sumut dengan melakukan identifikasi dan pengukuran secara langsung di atas tanah eks HGU PTPN 2 yang ada di Helvetia, Marindal, dan Selambo.
Mereka juga mendesak untuk segera didistribusikan dan sertifikasi tanah-tanah yang sudah diduduki, dikuasai dan diusahai rakyat petani sesuai UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Perpres Nomor 86 Tahun 2018.
Seain itu, massa juga meminta untuk segera dihentikan eksekusi, okupasi, dan penanaman yang dilakukan PTPN 2 di atas tanah yang sudah diduduki, dikuasai dan diusahai masyarakat petani, stop perpanjangan HGU PT. Bridgestone sebelum ada penyelesaian dan pengembalian tanah Masyarakat Adat Sorba Jahe Naga Tongah Sihora-hora seluas ± 273,91 hektar di Desa Parlembeian, Kecamatan Sipispis, Kabupaten Serdang Bedagai, serta usut tuntas dan tangkap Kepala BPN Serdang Bedagai atas terbitnya HGU PT. Soeloeng Laoet yang belum clean and clear sebab masih ada persoalan di atas tanah tersebut.
“Usut tuntas juga penyerangan dan teror terhadap masyarakat petani Bhakti Karya yang terjadi di Binjai yang ditengarai telah diprovokasi oleh oknum anggota DPRD Sumut berinisial ZP. Bongkar penembokan di atas tanah eks HGU PTPN 2 di sejumlah tempat, termasuk penembokan oleh PT. ACR milik Mujianto di Desa Helvetia seluas ± 74 hektar,” tuntut massa.
Sampai berita ini dimuat, massa masih tetap bertahan di depan Kantor Gubernur Sumut. Massa meminta agar diagendakan pertemuan langsung antara massa kedua organ tersebut dengan Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi.
“Kalau Gubernur Edy Rahmayadi tidak juga mau bertemu, maka pantaslah dia disebut si Otong. Sebab belum pernah si Japurut itu mau menemui massa petani saat berdemo di Kantor Gubernur Sumut ini. Ini adalah hari kami para petani, tapi dia tak mau menemui kami. Ingat, kami tidak akan memilih dia lagi pada saat Pilgub nanti bila masalah kami tidak disikapinya secara serius sesuai perintah Presiden Joko Widodo,” kata orator. (Sipa Munthe/***)