100 hari kinerja Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Hadi Tjahjanto mendapatkan apresiasi dan dukungan dari rakyat untuk mengatasi maraknya praktik mafia tanah dan konflik pertanahan yang seringkali terjadi di tanah air.
Kinerja mantan Panglima TNI itu telah berjalan selama 100 hari terhitung sejak Presiden Joko Widodo melantik Hadi Tjahjanto sebagai Menteri ATR/BPN pada Rabu, 15 Juni 2022 lalu, atau tepatnya jatuh pada hari Sabtu (24/9/2022).
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Riyanta SH turut mengapresiasi kinerja Menteri Hadi Tjahjanto yang masih berjalan baik sesuai harapan rakyat.
Namun demikian, dia mendorong pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Reforma Agraria. Sebabnya, Perppu tersebut dinilai sebagai solusi menyelesaikan terjadinya konflik tafsir hukum dan maraknya berbagai kasus pertanahan di Indonesia.
“Jadi harus kita dorong secepatnya Perppu tentang Reforma Agraria diterbitkan pemerintah. Kalau kemudian terjadi konflik tafsir hukum, tentu Perppu ini akan menjadi pijakan yang bisa dijadikan pedoman semua,” ucap Riyanta dalam sebuah diskusi bertema, “100 Hari Perjalanan Pilot Jet Tempur, Menerbangkan ATR/BPN” di Oktaf Coffee, Tebet, Jakarta, Sabtu (24/9/2022).
Selain Riyanta juga hadir sebagai narasumber lainnya antara lain, Juru Bicara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) T Hari Prihatono, dan Pakar Komunikasi Publik Effendi Gazali.
Lebih lanjut, Riyanta mengatakan, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Hierarki Peraturan Perundang-undangan bahwa kalau persoalan (sengketa tanah) ini diselesaikan lewat Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres) tentu akan terjadi konflik tafsir hukum atau bertabrakan dengan beberapa undang-undang yang ada.
“Jadi ini harus diselesaikan secepatnya mengeluarkan Perppu tersebut, agar konflik tafsir hukum soal sengketa pertanahan, konflik pertanahan, kemudian kejahatan pertanahan mendapat kepastian hukum,” jelasnya.
Baca juga :
PETANI menagih janji pemerintah untuk meredistribusi 9 juta hektar tanah
UU Masyarakat Hukum Adat
Di sisi lain, politisi dari Fraksi PDI Perjuangan ini mendorong pemerintah juga perlu segera menyelesaikan Undang-Undang (UU) tentang Masyarakat Hukum Adat. Ia menyoroti berbagai kasus konflik tanah ulayat masyarakat hukum adat seperti di Kalimantan Tengah, Jambi, Riau, Lampung, Palembang, dan Sumatera Utara.
“Banyak tanah ulayat masyarakat adat di Indonesia, khususnya di luar Pulau Jawa yang dicaplok oleh korporasi maupun mafia tanah,” ungkap Ketua Umum Gerakan Anti Mafia Tanah (Gamat) RI itu.
Dia menilai bahwa selama ini hak-hak masyarakat hukum adat secara nasional belum mendapatkan pengakuan. Oleh karena itu, tanah ulayat masyarakat hukum adat kerapkali bermunculan konflik ketika tanah ulayat atau tanah adat tersebut tiba-tiba hak penguasaannya diberikan kepada korporasi.
“Hal itu berpotensi memicu konflik tanah antara masyarakat hukum adat dengan korporasi di daerah setempat. Jadi perlu segera kita dorong agar masyarakat hukum adat itu mendapat pengakuan secara nasional,” tegasnya.
Baca juga :
Mahasiswa Cipayung Plus Kota Medan temui Ganjar Pranowo, diskusikan energi baru terbarukan
Revisi Pasal 17 UU KIP
Selain itu, Ketua Umum Gerakan Jalan Lurus (GJL) ini juga menyarankan pemerintah agar merekonstruksikan kembali warkah tanah sebagai dokumen informasi yang terbuka untuk umum.
Menurut dia, ada hal yang sangat substantif mengenai kejahatan pertanahan atau mafia tanah yang dapat diselesaikan melalui merekontruksikan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Dia menjelaskan bahwa dokumen warkah atau dokumen yang menjadi dasar penerbitan sertifikat tanah itu menjadi dokumen yang dikecualikan atau dianggap bukan dokumen publik. Dalam ketentuannya, dokumen warkah itu yang memilikinya hanya pemilik sertifikat.
Ia menilai, hal tersebut akan menjadi persoalan di kemudian hari ketika dokumen warkah yang dijadikan dasar oleh pemohon sertifikat ternyata palsu atau dipalsukan.
“Semestinya warga negara yang lebih berhak secara hukum, oleh undang-undang diberikan suatu ruang untuk dokumen warkah tersebut lebih mudah diakses oleh umum,” cetusnya.
Oleh karena itu, Riyanta mengusulkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP itu harus dikontruksikan kembali dengan merevisinya.
“Jadi supaya dokumen warkah itu dibuka secara terang benderang oleh badan yang menyelesaikan sengketa atau BPN atau aparat kepolisian maupun pengadilan. Jadi untuk mendapatkan dokumen warkah ini bisa dilakukan oleh para pihak yang bersengketa dengan difasilitasi oleh negara,” pungkasnya.
Dalam acara diskusi tersebut tampak dihadiri oleh sejumlah pengurus inti organisasi masyarakat seperti Gerakan Jalan Lurus (GJL) Provinsi DKI Jakarta, Jansen Leo Siagian (Korwil GJL se Jabodetabek, Johanes Tanadi (Wakil Ketua II GJL DKI Jakarta, Yosef G Kapoyos (Ketua GJL Provinsi Banten), relawan dan tokoh aktivis lainnya. (Edo/***)