Catatan | Ingot Simangunsong
SEORANG hakim agung masuk dalam OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap perkara di lingkungan Mahkamah Agung, Kamis (22/09/2022).
Bersama hakim agung itu, 9 orang lainnya, sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka.
Sungguh memprihatinkan. Beberapa hari setelah puluhan koruptor mendapatkan kemurahan bebas bersyarat, muncul kabar tertangkapnya puluhan orang yang terlibat dalam lingkaran korupsi.
Para koruptor, belum terdampak efek jera atas hukuman yang ditetapkan. Kasus terbaru hakim agung, adalah bentuk penguatan bahwa korupsi merupakan jalan pintas untuk mendapatkan “kekayaan”.
Perampasan aset
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sudah disusun sejak tahun 2019. Namun, kenyataannya sampai saat ini, DPR masih merasa enggan untuk mensahkan RUU tersebut menjadi Undang-Undang.
Padahal dengan disahkannya RUU tersebut, akan memberikan efek jera bagi para koruptor untuk menggerogoti kekayaan atau anggaran negara.
Boleh saja para koruptor itu mendapatkan kemudahan-kemudahan atau keringan hukuman, akan tetapi ketika diselesaikannya hukuman, seluruh asetnya sudah dirampas negara. Atau dengan kata lain, begitu keluar dari balik jeruji besi, para koruptor tersebut, sudah termiskinkan.
Patut, diberikan dukungan kepada Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) supaya RUU Perampasan Aset segera disahkan.
MAKI pun berpendapat bahwa MK memiliki wewenang untuk memaksa pemerintah dan DPR segera mengesahkan rancangan itu.
“MAKI akan mengajukan uji materi ke MK guna memohon perintah kepada pemerintah dan DPR guna membahas dan mengesahkan RUU Perampasan Aset,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman, Sabtu, 17 September 2022.
Baca juga :
Tahun 2023, 83.000 RT kurang mampu dapat bantuan sambungan listrik baru
Masih setengah hati
Dengan tidak dilakukan DPR percepatan pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi Undang-Undang, adalah sebagai sinyal tegas, bahwa DPR masih berada di wilayah setengah hati dalam pemberantasan korupsi.
Penegakan hukum dan hukuman berat bagi para koruptor, masih jauh dari harapan masyarakat yang paling terluka karena prilaku para koruptor di negeri ini.
Revisi UU Pemasyarakatan yang memberikan kesempatan napi koruptor mendapatkan pengurangan hukuman berupa remisi, asimilasi dan bebas bersyarat, sangatlah melukai masyarakat.
Betapa nikmatnya para koruptor, sudahlah menguasai kekayaan negara dengan sebebasnya, mendapatkan fasilitas lain terkait pengurangan masa hukuman, dan setelah keluar masih dapat tersenyum sembari menikmati sejumlah aset.
Baca juga :
MENYEDIHKAN … Hakim Agung di-OTT KPK
Jika DPR masih tetap menutupi hati nurani mereka terhadap pengesahan RUU Perampasan Aset, maka semakin jelaslah bahwa DPR yang mempersiapkan para komisioner KPK, sekaligus juga sebagai bumper macetnya perjalanan RUU Perampasan Aset menjadi Undang-Undang.
Kenapa DPR menjadi berada di wilayah setengah hati dalam pemberantasan korupsi? Jika DPR, masih bagian dari perwakilan rakyat, seharusnyalah hati nurani mereka terbuka untuk melihat kondisi konstituen yang sesungguhnya terluka karena demikian “istimewanya” para koruptor.
Untuk itulah UU Perampasan Aset harus segera disahkan dengan cara harus ada perintah dari MK.
MAKI akan melakukannya. Rakyat harus memberi dukungan dan dorongan yang kuat bagi MK untuk pengesahaan RUU Perampasan Aset.
Para koruptor harus dan harus serta wajib dimiskinkan. Aset para koruptor harus dirampas, dengan pengesahan payung hukum Undang-Undang Perampasan Aset.
Jika MK mengakomodir aspirasi MAKI, maka terlepaslah pemberantasan korupsi di negeri yang kita cintai ini, dari “wilayah setengah hati.”
Penulis, Pimpinan Redaksi mediaonline segaris.co