MENANGGAPI unjukrasa Forum Peduli Proses Hukum Indonesia (FPPHI) di depan Gedung DPRD Sumut, terkait masalah izin trayek moda angkutan umum Lubukpakam – Binjai, serta kutipan iuran yang dilakukan PT. Jasa Raharja (Persero), Senin (30/05/2022), Berkat Kurniawan Laoli mengatakan sebelum diagendakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pihak-pihak terkait, masalah yang disampaikan pengunjuk rasa itu, terlebih dahulu akan dibawa dalam rapat Badan Musyawah (Banmus).
Anggota Komisi B DPRD Provinsi Sumatera Utara itu menyebut, dalam pertemuan delegasi pengunjuk rasa yang umumnya supir angkutan umum dari Binjai, disepakati untuk segera mengajukan nota dinas kepada Ketua DPRD Sumut, guna memanggil para pihak terkait dalam RDP, seperti Dinas Perhubungan Provsu, Perizinan, Organda, PT. Jasa Raharja (Persero), dan PT. Rahayu Medan Ceria (RMC).
“Kita tidak bisa mengatakan ya terhadap tuntutan mereka karena harus komisi yang bersangkutan dengan masalah itu yang mengadakan RDP. Kalau menurut Komisi A dan B terhadap peraturan yang di atasnya seperti yang mereka sampaikan, nanti pasti ada rekomendasi sebab DPRD terbuka untuk semua laporan masyarakat,” kata legislator dari Daerah Pemilihan Nias sekitarnya ini.
Kutipan tanpa dasar hukum
Diungkap dewan berlatar belakang sarjana pendidikan itu, dalam aksinya, FPPHI menenggarai bahwa PT. Jasa Raharja (Persero) melakukan kutipan tanpa dasar hukum dan berkeberatan pajak ongkos penumpang dibebankan kepada supir atau pemilik angkutan Rp300-an ribu per unit angkutan.
Dan hal ini telah mereka sampaikan kepada Ombusman Perwakilan Sumut dimana lembaga negara yang mengawasi pelayanan publik itu sudah mengevaluasi aduan tersebut tetapi sampai sekarang belum dieksekusi oleh pihak terkait.
Menurut mereka, sambungnya, dalam UU Lalu-Lintas dan Peraturan Menteri, hal itu tidak ada diatur.
Selain itu, mereka menyebut ada pelanggaran yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan Provsu melalui penetapan SK Gubsu tentang penetapan trayek RMC.
Harus izin dari kementerian
Mereka mengatakan, harusnya dalam penentuan trayek itu, apalagi sudah antar kota dalam provinsi, Lubuk Pakam – Medan – Binjai, bukan dalam kota, trayeknya harus izin dari kementerian, nukan dari gubernur.
Dan mereka mengaku telah beberapa kali menyampaikan masalah tersebut ke DPRD Sumut, tapi belum ada respon.
Sangat tidak beralasan dan ditunggangi
Terpisah, Pimpinan Perusahaan PT. RMC, Mont Gomery Munthe, yang dimintakan tanggapannya terkait tuntutan FPPHI, ditemui di Medan, Selasa (31/05/2022), menyebut bahwa tuntutan FPPHI tersebut sangat tidak beralasan.
Mont Gomery menuding bahwa aksi yang mengatasnamakan FPPHI itu ditunggangi para pihak moda angkutan umum yang illegal serta memberikan pelayanan yang buruk kepada penumpang.
“Hal itu sudah berulang kali kami sampaikan kepada pihak-pihak terkait, seperti Kasat Lantas Binjai mau pun Dirlantas Poldasu untuk segera melakukan penertiban terhadap angkutan illegal itu. Namun sampai saat ini belum ada tindakan yang maksimal,” ungkapnya.
Promosi gratis
Dia mengucapkan terimakasih atas aksi yang dilakukan FPPHI, sebab menurutnya, dampak dari aksi itu, masyarakat yang acap menggunakan angkutan umum di lintasan Binjai – Medan – Lubukpakam, menjadi lebih tahu dan paham soal jasa angkutan umum.
“Secara tidak langsung, aksi mereka itu merupakan promosi gratis untuk RMC. Dan ini berdasarkan pengakuan para supir kami yang beroperasi di trayek tersebut dimana pada aksi mereka itu, jumlah penumpang yang menggunakan angkutan RMC jauh meningkat. Selain itu, masyarakat juga dapat melihat kondisi kelayakan angkutan RMC dengan angkutan mereka. Karena 78 unit armada RMC yang beroperasi pada trayek tersebut, berada dalam kondisi yang sangat bagus disertai penampilan para supir yang bersih dan wajib berkemeja,” kata Mont Gomery yang juga Ketua Organda Kota Medan.
Menjadi lebih murah dan rentang waktu jadi singkat
Selain menyerap tenaga kerja, imbuhnya, biaya transportasi warga masyarakat dari Binjai – Medan – Lubukpakam mau pun sebaliknya, menjadi lebih murah, rentang waktu perjalanan semakin singkat, serta pelayanan yang didapat lebih baik.
RMC, ungkap Mont Gomery, awalnya hadir sekitar tahun 1980-an, untuk melayani warga masyarakat yang bermukim di sekitar pinggiran Kota Medan. Sebab di wilayah inti dan perkotaan Kota Medan, sudah dilayani KPUM.
Dikatakannya, aksi FPPHI itu jelas sangat merugikan para supir yang terlibat sebab seharian mereka tidak membawa pendapatan yang berdampak pada urusan rumahtangganya di tengah situasi sulit saat ini.
“Alangkah positifnya aksi mereka itu bila memprotes moda transportasi Trans Metro Deli yang sampai sekarang masih menggratiskan biaya angkutannya sehingga merugikan para supir mau pun pemilik dan pengusaha angkutan umum di Kota Medan dan sekitarnya,” katanya.
Pemprov Sumatera Utara tidak tegas
Mont Gomery yang turut didampingi Ketua Organda Kabupaten Deli Serdang, Frans Simbolon, juga menyesalkan tidak tegasnya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam menindaklanjuti kesepakatan yang telah dibuat terkait beroperasinya angkutan umum berbasis online.
“Bahwa dalam keputusan yang telah disepakati bersama antara Dinas Perhubungan Provsu, aplikator angkutan umum berbasis online, Dirlantas Poldasu, dan para pengusaha angkutan umum di Sumatera Utara, kuota angkutan berbasis online 15 ribu unit yang dibagi dalam beberapa wilayah, seperti Kota Medan, Siantar, Deliserdang, dan Binjai. Dimana dalam keputusan bersama itu, para pemilik angkutan online yang sudah terdaftar bergabung ke perusahaan angkutan umum yang telah memiliki izin operasional,” kata Mont Gomery.
Namun para aplikator itu, sampai sekarang, sambungnya, tidak mematuhi keputusan bersama tersebut. Malah jumlah angkutan berbasis online saat ini sudah berjumlah 40 ribu unit.
Frans Simbolon pun, membenarkan kondisi tersebut.
Dikatakannya, dampak yang terjadi atas pembiaran itu adalah, supir sulit mendapatkan pendapatan yang layak, pengusaha angkutan merugi dan terancam bangkrut, dan warga masyarakat sulit memperoleh layanan angkutan umum yang baik.
“Para pengemudi angkutan online juga semakin susah karena jumlahnya yang lebih banyak daripada penggunanya. Akhirnya, banyak yang unitnya disita pihak leasing,” kata Frans, yang juga Ketua Organda Berbasis Online di Sumut.
Disamping itu, keduanya juga mengeluhkan hilangnya BBM jenis premium hampir di setiap SPBU di Sumut. Kelangkaan itu menurut mereka menambah beban operasional angkutan umum.
Sebab, menurut mereka, menaikkan tarif angkutan bukanlah solusi terbaik karena akan membebani biaya bagi masyarakat pengguna jasa angkutan umum. Tetapi bila tidak dinaikkan, akan menjadi beban bagi para supir maupun pengusaha angkutan umum.
Mereka berharap agar pemerintah, baik pusat maupun daerah, dapat memberikan solusi terbaik mengatasi dilema tersebut sehingga masyarakat pengguna jasa angkutan umum mendapat ongkos transportasi yang terjangkau disertai pelayanan yang baik. Dan supir bisa memperoleh pendapatan yang layak setiap harinya serta pengusaha dapat meningkatkan fasilitas pelayanannya. (Sipa Munthe/***)