“GERBONG politik”, juga punya batasan jumlah penumpang. Riskan untuk membawa jumlah melebihi kapasitas. Jadi dalam panggung politik, memang harus ada yang “ditinggalkan” atau “tidak diberi tiket” untuk mencapai tujuan.
Masinis gerbong politik, tentu harus menjaga ketegaan berpolitiknya, dalam menyeleksi “penumpang” agar capaian tujuan, benar-benar maksimal.
Di ruang lingkup lingkaran politik, lupa melupakan atau tinggal meninggalkan, itu sudah hal yang lumrah. Bagi yang merasa terlupakan atau dilupakan, dan yang merasa ditinggalkan atau tertinggalkan, ya harus menentukan sikap.
Tetap merasa bagian dari tujuan politik – dapat menerima situasi keterbatasan penumpang gerbong politik – dan menjalankan fungsinya di luar lingkaran, sebagai gerakan gerbong militan. Berjuang di luar gerbong politik, dan menjadi supplyer dokumentasi politik kebersamaan dalam membangun.
Atau merubah posisi, menjadi pihak yang berseberangan, dan menjadi alat pengawasan melekat terhadap tujuan masinis gerbong politik. Artinya, tidak sekadar ngomel-ngomel ngedumel tidak jelas arah, karena rasa emosi tidak masuk dalam gerbong politik.
Baca juga : Dua perempuan “tangguh” kepala daerah, Rohani Darus Daniel dan Susanti Dewayani
Jangan baper
Sebagai bagian dari proses pencapaian kemenangan politik, jangan jadi terbawa perasaan (baper), saat terjadinya pemutusan mata rantai keterkaitan.
Berpolitik itu tidak bergaransi sikap konsisten. Karena, kepentingan pribadi, kepentingan kelompok dan kepentingan partai, sangat kental, dibandingkan konsistensi yang kapan saja dapat mencair.
Kemudian, jangan baper juga dengan pernyataan bahwa politik itu kejam. Karena, kekejaman itukan, hanya masalah perasaan, sementara berpolitik tidak serta merta mengaitkan apa yang disebut perasaan.
Jadi, jangan baper, agar saat memposisikan diri, benar-benar kuat. Sehingga, sebagai apa pun pilihan yang ditetapkan, menjadi sebuah kekuatan yang diperhitungkan.
Tidak lagi bergerak, sebatas narasi ke narasi, tetapi menjadi alat penekan dengan narasi yang diperkuat data. Agar orang-orang yang berada dalam gerbong politik atau politik gerbong itu, menjadi waspada dan tetap berada di relnya, agar gerbong politik atau politik gerbong itu, sampai ke tujuannya dengan baik.
Baca juga : SEMANGAT branding “Simaloengoen” dan transparansi
Tidak perlu gusar atau grasa-grusu
Memposisikan diri, tidak perlu gusar atau grasa-grusu. Karena masinis mau pun para penumpang “gerbong politik” atau “politik gerbong”, hanya merasa gerah, jika orang-orang yang berada di luar komunitas mereka, mampu mempertunjukkan kualitas narasi dan data.
Kemudian, sebagai sesama-sama bagian dari pertumbuhan dan perkembangan sebuah wilayah, dimana perbedaan satu sama lainnya, hanya pada gerbong, sepatutnya saling memahami, bahwa waktu akan menghasilkan jawaban atas sukses tidaknya sebuah misi “gerbong politik” atau “politik gerbong”.
Perlu juga dicamkan, “gerbong politik” atau “politik gerbong”, adalah sarana bergeraknya sebuah visi-misi. Sekali lagi, ada kepentingan yang sangat kental di dalamnya. Yang membutuhkan pengawasan, agar kepentingan itu, tidak sepenuhnya menjadi kepentingan pribadi, kepentingan kelompok atau kepentingan partai. Tetapi, harus tetap diawasi dan dijaga agar menjadi kepentingan orang banyak, yakni rakyat sejahtera.
Kemampuan daya pikir (otak) “gerbong politik” atau “politik gerbong”, harus dibarengi dengan kemampuan yang sama (bila perlu melebihi) dari orang-orang yang berada di luar gerbong. Tetapi, harus tetap di jalur kepentingan orang banyak, yakni rakyat sejahtera.
Ingot Simangunsong, pimpinan redaksi segaris.co