Oleh | Sean Masterio Yulius Limbong
PEMILIHAN Presiden periode 2014-2019 telah berlalu, dimana pasangan Joko Widodo (Jokowi) – Yusuf Kalla, ditetapkan sebagai pemenang.
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) lewat Keputusan Nomor 535 tahun 2014 memutuskan pasangan capres H. Prabowo/Ir. H.M Hatta Rajasa memperoleh suara 62.576.444 (46,85%) dan pasangan Ir. H. Jokowi – Drs. H.M Jusuf Kalla perolehan suara 70.997.833 atau (53.15) dan sekaligus menetapkan pasangan Jokowi – Jusuf Kalla menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Periode 2014-2019.
Penetapan ini dikuatkan dengan keputusan Mahkamah Kontitusi (MK) lewat sidang putusan MK tanggal 21/08/2014, dipimpin Ketua MK, Hamzah Zoelva di Gedung MK.
Secara Kontitusi dan Peraturan Perundang-Undangan, proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2014-2019 telah melengkapi segala unsur hukum dan konstitusi Republik Indonesia yaitu UUD 1945.
Memberikan ruang prioritas
Seiring dengan dinamisasi kepemimpinan Presiden Jokowi serta komitmen perwujudan visi dan misi masa kampanyenya, telah memberikan ruang prioritas bagi pembangunan manusia Indonesia, juga pemerataan dan pertumbuhan ekonomi lewat pembangunan infrastruktur, pariwisata, sumber daya alam yang berbasis pengolahan, sehingga prioritas pembangunan Indonesia Wilayah Timur yang kaya akan potensi SDA-nya telah tampil sebagai penghasil devisa bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pilpres dan Pemilu 2019
Pesta Demokrasi tahun 2019, sedikit berbeda dari tahun 2014. Hal khusus dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dimana penetapan Presiden Threshold (PT) atau ambang batas PT mencapai 20%, untuk ketentuan pencalonan Presiden – Wakil Presiden dari Partai Politik (Parpol) yang mendapat dukungan 20% dari kursi parpol di DPR RI, di Capres-Wapres tahun 2024. Hal ini sesuai UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sudah diterapkan di tahun 2004, 2009, dan 2014, serta masih diterapkan di Pemilu 2024.
Efek Jokowi berdampak Pemilu Legislatif
Model atau gaya kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden RI di periode 2014-2019, telah memberikan efek Jokowi kepada parpol pengusungnya di periode 2014-2019.
Hal ini dapat terlihat di hasil Pemilu Legislatif (Pileg) tahun 2019 sebagai berikut: PDIP 27.053.961 (19.33%), Gerindra 17.594.839 (12,57%), Golkar 17.229.789 (12,31%), PKB 13.570.097 (9,69%), Nasdem 12.661.792 (9,05%), PKS 11.493.663 (8,21%), Demokrat 10.876.507 (7,77%), PAN 9.582.623 (6.84%), dan PPP 6.323.147 (4, 52%). Sumber: Keputusan KPU RI Nomor 987/01.8-006/KPU/V/2019.
Dan berdasarkan hasil Pilpres tahun 2019, untuk periode 2019-2024, telah menetapkan pasangan Jokowi – Maruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019 dimana rivalitasnya juga di Pilpres 2014 yaitu H. Prabowo Subianto.
Fenomena Pilpres 2024
Pada perjalanan pemerintahan Jokowi di periode kedua yang berpasangan dengan KH. Maruf Amin, di tahun ketiga berjalan, tingkat kepuasan rakyat terhadap kinerja Presiden dan Wakil Presiden berada di 71 persen berdasarkan dua lembaga survei yaitu, Indikator Politik Indonesia (IPI) dan SMRC didasarkan survey bulan Januari – Februari 2022.
Publikasi lembaga survei tersebut, telah berdampak atau berpengaruh dan menjadi fenomena baru menyongsong Pemilu 2024 nanti dengan munculnya isu atau keinginan tetap dua periode atau tiga periode. Bahkan sampai muncul wacana tunda pemilu.
Pendapat dan wacana menjelang Pemilu 2024 itu telah menyita perhatian yang menjurus ke arah konflik termasuk hal anggaran, sehingga Presiden Jokowi harus mengambil langkah yang tegas, sebab isu mau pun viralisasi dan aspirasi tiga periode mau pun tunda Pemilu 2024, justru dilontarkan oleh para menterinya, yang secara organ politik merupakan elite atau petinggi Parpol.
Amanah UUD 1945 tentang Presiden dan Kewenangan MPR dalam mengubah atau mengamandemen sejak reformasi bergulir hingga pada perjalanan pemerintahan era reformasi saat ini, telah banyak membawa perubahan dari konsitusi UUD 1945 dengan mengalami amandemen sebanyak empat kali terkait pasal-pasal yang terkandung di dalam UUD 1945 itu.
Dampak dari demokrasi yang disepakati oleh rakyat, lewat amandemen terakhir tersebut, membuat fenomena Pemilu 2024 dengan wacana tiga periode sejatinya dapat dilakukan, sebab dalam UUD 45 di Bab I, pasal 1 ayat 1, mengamanatkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UU (Amandemen 3), serta Bab II Pasal 2, ayat 1, bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD (Amanden ke 3).
Terkait usulan tiga periode dapat dilakukan, sebab lewat Bab 1 Pasal 1 dan Bab 2 Pasal 3 ayat 1, dapat merubah masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dari dua periode menjadi tiga periode, dimana pada Bab 3, Pasal 7, berbunyi bahwa, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan (amandemen pertama).
Jika kita analisis secara Undang-Undang Dasar 1945, sesuai dengan bab dan pasal di atas, bahwa tentang periodisasi jabatan presiden dapat dilakukan lebih dua periode dengan melakukan amandemen perubahan Bab 3 Pasal 7, tetapi harus berdasarkan kesepakatan fraksi atau 2/3 suara anggota MPR, DPR RI dari perwakilan semua fraksi yang ada di MPR RI.
Berikutnya, argumen perubahan Bab 3 Pasal 7, jika diinginkan oleh partai pengusung dan partai pemerintah tentu semakin mulus, sebab 70% suara atau kursi di parlemen, dengan mengacu perolehan suara parpol pengusung Capres 2019 lalu dimana PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP, dan Gerindra masuk menjadi Koalisi Pemerintah.
Melihat kekuatan koalisi tersebut serta mengacu kepada UUD 1945 yang telah diamandemen itu, maka wacana tiga periode Jokowi dapat dilakukan.
Namun Presiden Jokowi berksikukuh tetap dua periode dengan argumennya yang taat dan tunduk kepada konstitusi.
Maka muncullah dinamisasi politik yang bergulir memasuki momentum Pemilu 2024 dan telah membuat situasi maupun kondisi yang tidak bisa dibiarkan bergulir begitu saja.
Pembiaran ini dikhawatirkan bisa liat yang dapat menganggu stabilitas ekonomi, sosial, dan persatuan bangsa negara sehingga Presiden Jokowi menegaskan Pemilu tetap dilaksanakan, tepatnya 14 Februari 2024 untuk menuntaskan polemik itu dan tidak dibahas lagi yang disampaikan Beliau dalam rapat terbatas yang dilaksanakan di Istana Bogor, pada Minggu, 10/04/2022.
Kesimpulannya, bahwa berdasarkan UUD 1945 terkait periodesasi dapat dilakukan, dengan kekuatan komposisi Parpol pendukung yang ada di parlemen.
Namun di sisi lain, Presiden Jokowi sebagai mandataris rakyat dalam bentuk simbol negara dan kekuasaan pemerintahan RI, lebih memilih posisi negarawan yaitu, lebih memilih hal yang besar yakni, patuh terhadap konsitusi yang saat ini, dan tetap menyelesaikan jabatannya di tahun 2024 dan menghantarkan Pemilu 2024 sesuai dengan jadwal yang telah diputuskan oleh Komisi II DPR RI, bersama KPU RI dan pemerintah.
Medan, Kamis, 12 Mei 2022
Sean Masterio Yulius Limbong, Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Negeri Jember, NIM : 180710101157