Tanggapan | Peter F Gontha
MENGAPA pemerintahan Tiongkok tidak pernah ‘bermulut besar’ seperti Amerika Serikat meski sudah menjadi negara maju dan kuat?
Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada tuntutan masyarakat atas kualitas pemimpin, khusus antara AS dan Tiongkok perbedaannya terletak pada:
AS adalah masyarakat idealis dan religius; masyarakat religius menyukai simbol, slogan dan berbagai bentuk komunikasi verbal seperti pidato, kotbah dan sebagainya.
Itu sebabnya para pemimpin politik di masyarakat religius suka bermain kata-kata dengan slogan, dan simbol serta mereka serius mengembangkan berbagai teknik komunikasi publik (public speaking).
Masyarakat religius tidak terlalu peduli pada prestasi, kinerja
Jika masyarakat AS serius terhadap kinerja tentu Trump akan tersingkir dan Hillary Clinton menjadi pilihan utama.
Perhatian masyarakat religius lebih pada kesamaan agama, slogan dan simbol politik yang merefleksikan keyakinan/agamanya atau nasionalisme dalam arti yang sempit.
Sebagai contoh, dukungan AS kepada Israel selalu dikaitkan dengan nubuat kedatangan Yesus yang kedua kalinya – yang diyakini oleh kelompok ekstrim kanan AS yang mendominasi Partai Republik – akan terjadi di Yerusalem.
Jadi Yerusalem harus ditangan orang Yahudi atau Kristen guna menyambut Yesus.
Bayangkan saja konsep keagamaan Christian-centric semacam ini muncul di narasi politik modern, serta diyakini secara meluas di AS, negara maju yang multi ras/kultural dan adikuasa dunia.
Itulah sebabnya para pemimpin politik di AS (masyarakat religius) jauh lebih sibuk dengan pencitraan diri, tampil sana tampil sini, sapa, senyum dan sedikit humor.
Aktif di media sosial dan rajin merangkai kata-kata
Semua ini adalah tuntutan/harapan dari masyarakat itu sendiri sehingga masyarakat merasa dekat, dan puas serta mengalirlah kata-kata inilah pemimpin yang baik.
Lalu bagaimana dengan kinerja? Janji tidak dipenuhi? Cukup buat alasan, toh masyarakat juga tidak peduli.
Masyarakat Tiongkok pragmatis dan sekuler, mereka fokus pada kinerja, prestasi dan perilaku dan karakter serta tidak peduli pada omongan.
Bagi orang Tiongkok, pemimpin harus memiliki kinerja yang sangat bagus dan perilaku dan karakter yang terpuji dan tidak perlu pinter omong.
Bahkan penilaian kepada orang yang pinter omong cenderung negatif, misalnya saja komentar yang sering saya dengar dari teman/rekan di Tiongkok: “Hanya penipu yang pandai omong.”
Sangat doyan “khotbah”
Salah seorang teman, dosen di AS dan sangat “doyan” khotbah (preaching) terutama masalah HAM dan demokrasi.
Suatu hari dia berceritera pengalamannya dengan sekelompok dosen muda Tiongkok. Setelah dia dengan semangat membawakan “khotbahnya” tentang HAM dan demokrasi. Salah seorang dosen muda Tiongkok itu merespons, “Apa yang kamu katakan itu, lakukanlah!”
Lalu mereka “ngloyor” pergi begitu saja, meninggalkan teman saya yang kebingungan karena tidak siap dengan respons semacam ini.
Ini menunjukkan bahwa masyarakat Tiongkok hanya yakin pada, “Apa yang dilakukan, bukan apa yang dikatakan.”
Mereka tidak tertarik pada gagasan mulia keagamaan namun lebih melihat perilaku umat beragama.
Mereka tidak tertarik pada pidato-pidato politik yang berisi janji-janji atau kuliah ideologi liberal, HAM, demokrasi dsb namun mereka sangat peduli pada apa yang dilakukan pengkotbah/tukang pidato itu.
Cuek dengan pemberitaan negatif
Itulah sebabnya para pemimpin politik Tiongkok tidak mengembangkan kemampuan berpidato (public speaking) dan benar-benar tidak peduli/ “cuek” dengan pemberitaan negatif media Barat.
Mengapa? Karena masyarakat Tiongkok yakin bahwa akhirnya, “dunia akan melihat realitas yang terjadi, sedangkan omongan dan tipuan akan lenyap.”
Namun yang jauh lebih penting, mereka sepenuhnya yakin rakyat Tiongkok tidak terpengaruh pada hal-hal semacam itu.
Bukan hanya para intelektual yang kritis dalam menyikapi media Barat.
Rakyat jelatapun kritis terhadap informasi media Barat
Seorang teman, warga negara AS, yang bekerja di Tiongkok, bercerita pada saya tentang seorang ibu (janda) yang bekerja sebagai tenaga administrasi di perusahaan.
Ibu ini pekerja keras dan hidup sangat hemat/sederhana demi bisa membiayai putrinya studi di AS.
Pada suatu hari, ibu ini berceritera kepada dia bahwa saat dia ke AS dia sangat terkejut melihat, kereta apinya sangat kuno dibandingkan dengan kereta yang tiap hari dia naiki untuk ketempat kerja.
Dia juga terkejut melihat banyaknya orang yang tidak punya rumah dan kotornya stasiun kereta.
Jauh berbeda dengan stasiun kereta di Tiongkok yang sangat bersih.
Kemudian ibu ini memegang tangannya dan berkata, “Tolong sampaikan kepemimpin anda, bereskanlah rumah tangga anda dulu daripada sibuk mengajari kami demokrasi.”
Teman saya itu terpukul sekali, katanya, “Saya malu sekali!” Sekaligus kagum, katanya “Bayangkan seorang ibu, janda, yang tiap hari hanya sibuk kerja keras demi dapat menabung untuk biaya kuliah putrinya. Namun paham politik global dan mampu merespons secara kritis dan tajam. Di AS sulit sekali mendapatkan orang seperti dia.”
Bagi ibu ini, adanya orang miskin, kereta api yang tua dan stasiun kereta yang kotor adalah bukti, pemimpin yang tidak kompeten sehingga muak dengan segenap kotbah demokrasi tersebut. Itulah logika Tiongkok.
Deng Xiaoping tidak melangkah seperti Gorbachev
Itu juga sebabnya Deng Xiaoping tidak melangkah seperti Gorbachev, yang berpidato dengan berapi-api dengan slogan-slogan,”Perestroika! Glastnost!”
Tetapi menunjuk Xi Zhongxun, orang andalannya Deng, untuk membuat proto-type/model.
Xi Zhongxun kemudian merancang dan memimpin sendiri Shenzhen dan sukses besar. Shenzhen melesat cepat dan kini melewati HongKong. Reformasi pun bergulir nyaman dan cepat di Tiongkok.
Segenap lapisan rakyat yakin bahwa keterbukaan akan membawa kemakmuran. Buktinya? Lihat Shenzhen!
Dengpun tidak perlu pidato yang berapi-api dan Xi Zhongxun yang pendiam tidak perlu kerepotan meyakinkan rakyatnya.
Jadi jalan Tiongkok adalah bukan pidato yang berapi-api tapi proto-type/model yang sukses.
Jadi tidak dibutuhkan tukang pidato tapi orang yang berpikir, tekun, dan bertangan dingin menciptakan, proto-type/model, seperti Xi Zhongxun, yang sukses membangun Shenzhen.
Kini kita dengan mudah dapat melihat model/karakter pemimpin yang cocok bagi Tiongkok, yaitu dengan melihat anak kandung Xi Zhongxun, Xi Jinping.
Seseorang yang tenang, tidak emosional, tekun dan bertangan dingin dalam membuat terobosan sehingga Tiongkok terus melaju ke depan.
Namun juga khas pemimpin Tiongkok, sangat payah dalam public speaking.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Tanggapan | SABAR MANGADOE
Jumlah anggota PKC sengaja dipertahankan kurang lebih 7% dari jumlah penduduk. Atau sekitar 100 jutaan anggota PKC, Partai Komunis China.
“Satu contoh, Presiden China saat ini, Ji Phing memulai karir politik-nya sejak saat remaja (umur belasan) dengan menjadi Pengurus Partai Komunis di desa-nya sendiri.”
Bayangkanlah sistem pengkaderan dan jenjang karir politik di internal PKC itu, dari Pengurus Desa bisa menjadi seorang Presiden!! Wow banget..!!
Aku istilahkan kondisi luar biasa sebagai Demokrasi Bangsa Tiongkok Super Super Duper Merit System. Ini adalah bagian dari Sebuah Sistem besar dari bidang Pengakaderan Politik yang amat berkwalitas!!!
Sistem Pengkaderan lainnya adalah bidang Ekonomi, Budaya, Pertahanan Bangsa, Keamanan Lingkungan, Sosial, Penanggulangan Bencana Alam, dan lain-nya sama kwalitasnya.. Yaitu memiliki tingkat Moral, Etika dan Etos (MEE) yang amat tinggi.
Jadi tak perlulah kita heran, karena dengan kwalitas SDM yang demikian tinggi itu kenapa China hanya dalam waktu sekejap dapat menjadi negara besar yang kuat, sejahtera dan maju seperti saat ini.
Demokrasi bangsa Barat disebut debagai Demokrasi Liberal
Bandingkanlah dengan Sistem Demokrasi Liberal/Barat seperti di negara Amerika. Demokrasi Barat dimulai dengan Negara Modern yang dimulai sejak terbentuknya Republik Perancis sebagai hasil Revolusi Perancis 1774, yaitu sejak 248 tahun yang lalu.
Lalu negara Amerika tahun 1776 dengan dimulai oleh 13 negara bagian. Yaitu 2 tahun kemudian sejak negara Republik Perancis terbentuk. Disusul dengan negara-negara Barat lainnya yang umumnya sebagian berbentuk Monarki Konstitusi seperti Inggris dan Belanda.
Dalam catatan sejarah perjalanan Demokrasi Barat/Liberal ini, bangsa Barat harus melalui perjalanan penuh liku, diselinggi konflik berdarah bahkan Perang Saudara!! Bayangkan saja, Perempuan Amerika-pun baru memiliki HAK MEMILIH dan DIPILIH sejak tahun 1920an, atau 144 tahun setelah negara Amerika penganut demokrasi berdiri.
Jadi sejak kapan sesungguhnya Demokrasi Barat/Liberal dinilai telah betul-betul menjadi alat untuk dapat mensejahterakan dan memajukan rakyat, bangsa dan negara mereka??!!
Dan harus kita catat pula, bahwa di saat bangsa Barat mulai ber-demokrasi secara modern, demokrasi liberal, di saat itu sudah atau sedang sukses menerapkan praktek Kolonialisme dan Imperialisme, penjajahan dan penjarahan bangsa-bangsa lain di dunia.
Jelaslah, bahwa faktanya Bangsa Barat ber-demokrasi Liberal, tapi tak mau jua melepaskan kelakuan jagadnya, yaitu menjajah dan menjarah bangsa lain!! Inilah Demokrasi Bangsa Barat yang Bermoral Standar Ganda. Demokrasi Hipokrit!!!
Dan setelah menjadi Perang Dunia kedua, bangsa dan negara Barat ini tetap saja lanjut dengan penyempurnaan dari praktek penjajahan dan penjarahan bangsa dan negara lain. Disebut oleh Bung Karno dengan neo-kolonialisme dan imperialisme atau NEKOLIM.
Tulisan yang disampaikan oleh Saudara Peter Gontha di atas sesungguhnya bukanlah penjelasan sebab, tapi hanyalah menyajikan beberapa akibat atau hasil.
Kalau tentang sebab China sukses besar, seperti yang Saya telahuraikan di atas, tentu saja masih perlu ditambahkan oleh beberapa penjelasan berikutnya tentang sebab yang dimaksud.
Tapi sebab yang paling subtansial seperti yang telah Saya jelaskan di atas. Intinya, PKC sukses besar dalam menerapkan Demokrasi Super Super Duper Merit System di internal partai.
Bangsa Indonesia harus bangun Demokrasi Pancasila
Kini kita telusuri sejenak bagaimana kondisi Sistem dan Budaya Demokrasi di Indonesia saat ini?? Buya Syafii Maarif telah bolak-balik dengan lantang mengatakan bahwa Demokrasi Indonesia saat ini memasuki fase Tuna Adab. Saya menambahkannya dengan Menuju Biadab.
Kenapa Saya sampai sebut dengan Demokrasi Tuna Adab Menuju Biadab?? Karena semakin lama semakin banyak rakyat kita yang kecanduan Politik Uang alias Wani Piro?? Itu. Karena Rakyat dimaksud semakin tidak percaya kepada partai dan para politisi-nya.
Dan yang paling ironis dan tragis-nya, ternyata partai dan politisi justru terperangkap serta menikmati kondisi biadab ini.
Akibatnya, Demokrasi di Indonesia saat ini hanyalah lebih sebagai alat bagi para Politikus Busuk dan gerombolan Pengusaha Hitam-nya untuk menjajah dan menjarah rakyat, bangsa dan negara-nya sendiri.
Mereka semua ini, oleh Bung Karno dibilang telah menjadi “Londo Ireng” yang berjaya dan super kaya raya!!! Maksudnya, lebih JahaD dari Penjajahan dan Pejarahan oleh Kumpeni dan Pemerintahan Hindia Belanda sendiri.
“Oleh karena itu, Demokrasi di Indonesia sangat membutuhkan sebuah tindakan terobosan yang besar untuk menjadikan Demokrasi sebagai alat untuk mensejahterakan dan memajukan rakyat, bangsa dan negara kita, mustahil bila hanya dilakukan melalui cara-cara ‘business as usual’.. Harus dengan cara extra-ordinary!!”
Tapi bagaimana caranya itu ???
“Intinya, Bangsa Indonesia harus bangun Sistem dan Budaya Demokrasi-nya sendiri.
Yaitu Demokrasi yang harus berakar kokoh pada Budaya 714 Suku Nusantara, bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ika dan semangat Gotong Royong sebagai masyarakat yang bersifat kolektif. Bangsa Tiongkok juga masyarakat Kolektif.”
Bukan malah niru-niru Demokrasi Liberal Bangsa Barat itu. Bukan juga niru-niru Demokrasi ala Mullah Republik Islam Iran yang kita akui luar biasa itu. Tapi bangun sendiri yang kita sebut sebagai Demokrasi Pancasila!
Salam Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika.
(Sabar Mangadoe, Penasehat Politik DPP DGP #DulurGanjarPranowo)