KETEMU teman, dan lanjut kongkow-kongkow sembari menikmati segelas kopi. Mengalirlah cerita tentang para kepala daerah.
Teman saya ini, punya pengalaman mengabdi di lingkungan eksekutif. Tentu, alurnya tidak asal nyeplak. Muatannya tidak kosong, kepadatan kandungan cerita kepala daerah sangat klop.
Teman itu menyebutkan nama Kota Surabaya. Kenapa? Menurutnya, Surabaya itu, satu-satunya, kota yang tertata dengan baik. Koq begitu? Jawabnya, karena kota itu dipimpin dan dikelola oleh pemimpin yang sama, selama 4 periode atau 20 tahun. Tentunya, dengan satu catatan, ya benar-benar memimpin untuk memajukan, dan tidak sekadar memikirkan bagaimana mengembalikan biaya politik.
Kemudian, teman saya itu, mengatakan, di luar Surabaya, daerah-daerah lainnya mengalami atau berada pada posisi yang memprihatinkan dan sulit atau penuh tantangan untuk dibenahi.
Sumber daya manusia
Teman kongkow-kongkow itu menggambarkan, hal yang demikian parah, yang harus dihadapi para kepala daerah, adalah persoalan sumber daya manusia-nya.
Kata teman saya, cobalah data di setiap OPD yang ada di provinsi, kabupaten dan kota, berapa banyak jumlah PNS yang punya keahlian sesuai dengan OPD yang ada. Sebutnya, ahli akuntan, ahli pertanian, dan ahli-ahli lainnya.
Keterbatasan sumber daya manusia (ahli di bidangnya), merupakan permasalahan yang menonjol, dan membuat kepala daerah merasa kelimpungan untuk menempatkan seorang pejabat dengan konsep “the right man on the right place”.
Konyolnya, ketika sudah tidak adalagi figur yang “the right man on the right place”, maka dipaksakanlah figur apa saja untuk menduduki kursi pimpinan OPD.
Jangan heran – karena tidak ada yang pas – seorang Sarjana Hukum, dijadikan sebagai Kepala Dinas Pariwisata, dengan mengambing-hitamkan bahwa pimpinan OPD itu hanya identik dengan apa yang disebut manejemen. Ya, kata pasarannya, sudahlah dicocok-cocokan saja. Hasilnya, ya tentu tidak maksimal.
Tenaga yang berkemampuan melapis
Yang lebih memprihatinkan lagi, kata teman saya itu, adalah ketidak-tersediaannya tenaga ahli yang berkemampuan dalam melapis figur pejabat yang memimpin saat ini.
Menurutnya, ada yang diabaikan selama ini, dalam pembentukan kader pelapis berjenjang, untuk mempersiapkan lapisan-lapisan pengganti ketika para pemimpin akan memasuki masa mengakhiri pengabdiannya.
Kenapa terjadi demikian? Karena dalam kenyataannya, apa yang disebut “like or dislike” (“suka atau tidak suka”) menjadi penyakit akut, dalam menataletakkan tenaga struktural mau pun fungsional.
Jadi, para kepala daerah sekarang ini, sangat rentan berhadapan dengan kondisi struktural dan fungsional yang tak berlapis. Karena struktural dan fungsional yang ternampakkan, adalah dalam kondisi terputus-putus dan diperparah tidak didukung keahlian atau kompetensi.
Parahhh, tokh!!!
Kepala daerah, gimana kabar? Tanya kawan saya, mengakhiri percakapan sembari menyeruput habis sisa kopi di gelasnya.
Pematangsiantar, 07 April 2022
by Ingot Simangunsong, Pimpinan Redaksi segaris.co