Oleh | Albertus Patty
MEMBICARAKAN sepak terjang Sabam Sirait dalam dunia politik selalu menarik. Apalagi bila dikaitkan dengan bukunya “Politik itu Suci.”
Konon, gagasan politik itu suci ia dapatkan dari Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia. Soekarno adalah tokoh idolanya.
‘Bila mengusir penjajah, mempertahankan kemerdekaan, dan mengisi kemerdekaan itu adalah politik, maka politik itu suci.’
Artinya, bagi Sabam Sirait, kesucian politik terletak pada motif dan tindakan perjuangannya.
Politik demi memperjuangkan nilai positif demi kebangsaan dan kemanusiaan. Politik menjadi suci.
Dua aspek
Gagasan politik itu suci, menarik dan inovatif karena paling sedikit ada dua aspek.
Pertama, kesucian politik tidak tergantung pada upaya menerapkan norma agama tertentu atau apakah suatu kebijakan sesuai dengan ayat-ayat kitab suci agama. Tidak!
Dalam kemajemukan bangsa menyamakan kesucian politik dengan penerapan norma agama tertentu akan menimbulkan hegemoni dan dominasi. Lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Ia akan mengundang intoleransi dan diskriminasi.
Bang Sabam Sirait, bersama sahabat karibnya KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur berjuang bersama semasa era Rejim Otoriter ORBA dan paska Reformasi 1998 era demokrasi. Keduanya kini sudah meninggalkan kita untuk selamanya.
Tergantung motif dan tujuan
Bagi Sabam Sirait, politik itu suci lebih tergantung pada motif dan tujuan kebangsaan dan kemanusiaan. Dengan nilai itu seorang politisi mengukur tindakannya.
Dengan motif dan tujuan itu kita bisa menilai segala isu politik maupun kebijakan politik yang sedang diberlakukan.
Aspek kedua, pandangan Kristen cenderung memisahkan politik sebagai sesuatu yang profan alias sekuler. Sedangkan agama berurusan dengan yang “sacred” yang suci dan kudus.
Keduanya terpisah. Tidak boleh saling mendominasi, tetapi bisa saling berkolaborasi. Tentu saja asal demi kebangsaan dan kemanusiaan.
Nah, mengatakan politik itu suci, berarti meruntuhkan ‘tembok pemisah’ yang suci dan yang sekuler.
Kesucian bukan lagi pada ‘locus’ pelayanan tetapi motif dan tujuan pelayanan. Dengan norma ini, dunia “sacred” pun bisa berubah menjadi sekuler bila tujuannya mengejar kekuasaan dan kekayaan.
Sebaliknya, dunia profan bisa menjadi “sacred: suci dan kudus bila motif dan tujuannya untuk pelayanan bagi bangsa dan kemanusiaan. Dengan nilai itu, Sabam Sirait mengingatkan bahwa semuanya tergantung motif dan tujuannya.
Imam dalam dunia politik dan interupsi yang tabu
Dengan mempraktekkan politik itu suci, Sabam Sirait sangat menghayati fungsinya sebagai imamat rajani. Dia adalah ‘imam’ dalam dunia politik. Komitmen dan konsistensi perjuangannya adalah untuk dan demi rakyat kecil serta untuk ‘mengawasi’ kekuasaan.
Kita ingat, saat Orde Baru berkuasa, Sabam Sirait nekad melanggar ‘tabu’ politik dengan melakukan interupsi. Padahal resikonya sangat besar. Bukan saja jabatannya bisa dicopot, tetapi juga bisa di-petrus-kan. Sabam seperti tidak perduli. Dia lebih takut pada Tuhan daripada kepada penguasa mana pun.
Bangsa Indonesia adalah gerejanuya
Bagi Sabam Sirait, bangsa Indonesia dengan segala persoalannya adalah gerejanya.
Dunia politik adalah medan pelayanannya. Dalam politik, Sabam Sirait beribadah kepada Tuhan. Melalui politik, Sabam komit total melayani bangsa dan kemanusiaan.
Sesungguhnya Sabam sedang mempraktekkan suatu spiritualitas politik!
Komitmen dan integritas kokoh membuat Sabam Sirait menjadi tokoh yang dihormati. Sabam tokoh panutan. Ia patut diteladani siapa pun, terutama para politisi yang sedang menjabat dan generasi muda bangsa saat ini.
Bogor
25 Maret 2022