LiSA itu, singkatan Lihat Sampah Ambil. Dipopulerkan Plt Wali Kota Pematangsiantar, Hj Susanti Dewayani. Kemudian ada ajakan kepada 8 camat dan 53 lurah untuk memberikan perhatian terhadap gerakan LiSA.
Jika memaknai LiSA, sebagai lihat sampah ambil, maka yang menjadi tindakan nyatanya, adalah mengutip sampah yang ada di tempat pembuangan sampah sementara (TPS) untuk dibawa ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA). Atau sampah yang berserakan di jalan-jalan protokol Kota Pematangsiantar.
Artinya, ada hitung-hitungan, berapa ton per hari produk sampah rumahtangga, sampah pasar tradisional dan sampah produk tanaman yang menghiasi taman-taman kota serta jenis sampah lainnya.
Kemudian, jumlah produksi sampah tersebut, akan berkaitan dengan seberapa banyak jumlah angkutan sampah yang perlu disediakan agar makna LiSA dapat dilaksanakan jam ke jam, sehingga masalah sampah benar-benar dapat teratasi.
Selanjutnya, perlu pendataan terhadap TPS di 53 kelurahan di 8 kecamatan. Agar ketika LiSA dijalankan, sudah jelas dimana-mana dapat ditemukan TPS.
Nah, masalah TPA, adalah hal yang sangat penting dipersiapkan. Bagaimana sampah yang berada di TPS, dapat diangkut, jika TPA-nya tidak tertata baik untuk menampung tumpahan sampah dari TPS?
LiSA jangan nanti, tidak bermakna apa pun karena wadah realisasi program tidak sesuai atau tidak sepadan dengan ketersediaan sarana dan prasarana pendukungnya.
Menyelasaikan atau mencari solusi menangani masalah sampah, tidak hanya di Kota Pematangsiantar, butuh urun rembuk membicarakannya.
LiSA, tidak cukup hanya menjadi sebuah instruksi, tetapi harus menjadi sebuah gerakan kesadaran bersama, yang didukung dengan kelengkapan fasilitas percepatan aksi LiSA.
Ya itu tadi, masalah ketersediaan sarana dan prasarana setelah lihat sampah ambil, dikemanakan sampah yang sudah diambil.
Pihak eksekutif – yang dipimpin Hj Susanti Dewayani – perlu melakukan kaji kelayakan gerakan LiSA dipersandingkan dengan jumlah angkutan sampah dan ketersediaan TPS serta TPA.
Gerakan LiSA, jangan kelak “menguap” dan hilang tanpa jejak karena tidak didukung alat kelengkapan untuk perwujudannya.
Kemudian, karena keterbatasan sarana dan prasarana, menjadi lari semangat dalam memaknai gerakan LiSA.
LiSA, diharapkan tidaklah sebatas gerakan moral, sebaiknya menjadi hal yang wajib dan diatur dalam Peraturan Walikota.
By Ingot Simangunsong