Menjadi Wartawan SIB Tanpa Surat Lamaran
APRIL tahun 1984—lupa tanggalnya—Pak Pos singgah ke rumahku, dan menyodorkan sebuah amplop dengan pengirimnya Harian Sinar Indonesia Baru, SIB, yang isinya meminta saya datang ke kantor Harian SIB, Jalan Brigjen Katamso 54 ABCD, Kota Medan untuk pengambilan honor tulisan.
Sungguh sangat menggembirakan. Bagaimana tidak. Tiga tahun mengirim tulisan, walau tidak mendapatkan imbalan apa pun, tetap setia mengirim tulisan.
Tidak sebatas merasa gembira untuk menerima honor. Yang lebih membuat dag-dig-dug jantung saya, bagaimana bersikap saat memasuki gedung mewah dan berhadapan dengan para pengelola Harian SIB. Karena, selama tiga tahun, saya tidak pernah mendatangi kantor itu.
Sesampainya di depan kantor Harian SIB, kutemukan ratusan perempuan sedang memadati teras dan ruang tunggu.
Menurut petugas Satpam, hari itu ada penerimaan calon karyawati, yang langsung diwawancarai almarhum DR GM Panggabean.
Keramaian saat itu, melenyapkan gemuruh perasaanku dan menjadi biasa-biasa saja. Kemudian, kusodorkan surat panggilan untuk mengambil honor tulisan kepada Satpam itu, dan diantarnya untuk ketemu dengan bagian kasir honor, Kak Yohana Panggabean.
Kak Yo—begitu aku memanggilnya—sangat ramah dan suaranya lembut.
Diterima jadi wartawan tanpa lamaran
Selesai menandatangani bukti penerimaan honor, Kak Yo bertanya, apakah saya sudah bekerja. Tentu saya jawab, belum. Mau jadi wartawan, katanya. Saya katakan, apa memang ada penerimaan wartawan.
Kak Yo mengatakan memang belum ada. Tapi, dia meminta saya untuk naik ke lantai dua, menemui almarhum Nazar Efendi Erde, redaktur senior yang orang Melayu dan penanggungjawab rubrik “Seni Budaya”.
Pertemuan dengan almarhum Nazar Efendi Erde cukup unik dan mengesankan. Usai memperkenalkan diri dan menyatakan maksud saya, dikatakannya, “kamu tahu tidak, untuk melamar anak orang itu ada syaratnya.”
Saya paham, dan harus mempersiapkan lamaran. Ketika saya hendak beranjak meninggalkan ruang redaksi—dimana terdapat meja kerja bentuk setengah bundar dan di depannya ada empat meja lainnya—almarhum Nazar Efendi Erde malah menyampaikan agar saya segera saja menghadap almarhum DR GM Panggabean.
Almarhum Nazar Efendi Erde memanggil sekretaris pribadi DR GM Panggabean dan meminta untuk membawa saya menghadap ke GM Panggabean yang Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Harian SIB.
Grogi juga berhadapan dengan GM Panggabean yang berwajah sangar dengan rambut agak panjang disisir lurus. Tatapan matanya yang tajam dan dengan suara agak berat menanyakan nama dan apa tujuan saya.
Selesai menyebut nama dan tujuan, GM Panggabean menanyakan apa pekerjaan kedua orangtua dan kenapa saya tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Saya sampaikan bahwa kedua orangtua saya hanya guru Sekolah Dasar (SD) di Sekolah Nasrani Jalan Seram, tidak dapat melanjutkan kuliah karena tidak ada biaya (sesungguhnya saya berbohong ketika itu, saya baru saja meninggalkan bangku perkuliahan di Jurusan Antropolgi, IKIP Medan karena bandel, mohon maaf Pak GM Panggabean).
Di luar dugaan, GM Panggabean memanggil almarhum Pdt Marganda Tobing alias Kak Sondang. Kepada almarhum, diminta untuk mendampingi dan membina saya sebagai calon wartawan.
“Mulai besok, kamu sudah boleh bekerja. Jangan bikin malu…” kata GM Panggabean.
Sungguh luar biasa ketika itu, saya diterima menjadi wartawan tanpa surat lamaran. Bangga dapat bergabung bersama tim redaksi Harian SIB.
Artinya, saya tidak lagi sekadar mengirim tulisan, tetapi sudah berada dalam ruang lingkup kerja jurnalistik sebenarnya.
Setiap pagi, saya mengikuti rapat redaksi bersama para senior, diantaranya Bang Tumpal Sitohang, Bang Masdrenty Keliat, almarhum Bang Cornelius Simanjorang, Kak Ras Meita Purba, Kak Nelly Hutabarat, Bang Efendi Naibaho, Bang Carlie Samosir, Bang Eddy Bukit, Bang Petrus Sembiring, almarhum Ulamatuah Saragih, almarhum Sori Gumusar Simare-mare, Timbul Jese Simorangkir, Dermawan Sembiring, Bengkel Ginting dan almarhum Tumpal Panjaitan, yang dipimpin Oslanto Tobing (almarhum), M Zaki Abdullah (almarhum), dan Viktor Siahaan sebagai Koordinator Liputan.
By Ingot Simangunsong (Andreas Bresman MS)