Oleh | Ki Tito Gatsu
BANYAK orang Indonesia yang sebenarnya hanya melihat Islam dari kulitnya saja, dengan menuduh pemerintah anti Islam.
Kita lihat ungkapan para politisi nyinyir yang tak pernah punya track record membangun Islam, seperti para politisi PKS, Fadli Zon, Amin Rais, Eggy Sudjana bahkan Gatot Nurmantyo, hanya sekedar menyebarkan opini untuk menjatuhkan pemerintah dengan mengharapkan dukungan untuk memperoleh kekuasaan.
Tak ada satu pun Negara di dunia yang menganggap gerakan mereka benar, malahan Dien Samsudin dan Rizieq Shihab, tokoh yang ada di belakang mereka masuk dalam daftar teroris internasional.
Di Mata Dunia Jokowi Cinta Islam dan Dicintai Rakyat
“Jokowi, saya cinta Anda.” Begitulah seorang perempuan yang berdiri di jalan ketika iring-iringan Presiden Joko Widodo di jalanan pedesaan Lombok.
Begitulah secuplik kalimat dari media Amerika Serikat (AS) The New York Times yang mengulas bagaimana terpilihnya kembali Jokowi dianggap membawa pengaruh bagi global.
Dalam ulasan jurnalis Hannah Beech serta Muktita Suhartono itu, Jokowi tidak menggunakan retorika populer dalam setiap pidatonya, melainkan membahas statistik tentang infrastruktur.
Meski begitu, kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019 lalu dianggap sebagai penyeimbang kuat di tengah pelemahan demokrasi maupun politik orang kuat yang mendominasi.
“Saya, Presiden bagi seluruh rakyat Indonesia, dan demokrasi melindungi pluralisme. Pemerintahan saya adalah tentang harmoni dan menentang ekstremisme,” ulas Jokowi.
Mantan Wali Kota Solo dan Gubernur Jakarta itu menerangkan, Indonesia harus bergantung kepada budaya yang sangat beranekaragam dan toleran jika ingin tetap eksis.
Selain di The Times, Jokowi juga menjadi perbincangan di sejumlah media internasional. Salah satunya adalah majalah Arab Saudi, Arrajol. Di majalah yang membahas gaya hidup pria itu, Jokowi menjadi sampul edisi Mei dan diulas sebanyak 14 halaman mulai dari kehidupan hingga pandangan politiknya.
Dalam prakatanya, pemimpin redaksi Arrajol mengemukakan Jokowi dipilih lantaran dia dianggap sebagai pemimpin yang rendah hati, sederhana, dan bersih.
“Dia dipilih oleh majalah Arrajol untuk menghiasi cover majalah sekaligus menyoroti perjalanan hidupnya yang menonjol baik kehidupan pribadi maupun umum,” kata redaksi.
Kemudian profilnya dibahas oleh harian Jepang The Japan Times sebagai bagian dari para pemimpin KTT G20 yang diselenggarakan di Osaka pada 28-29 Juni lalu.
Dalam profil itu, Jokowi disebut mendapatkan popularitas karena sering mengunjungi masyarakat terutama daerah miskin, dan berdiskusi mengenai masalah kota.
“Dia melanjutkan aktivitas itu sejak terpilih sebagai presiden. Dia senang mengendarai motor dan mendengarkan musik heavy metal,” ulas The Japan Times.
Jika melihat pandangan dunia Internasional justru di era Jokowi beberapa tokoh pro pemerintah diakui sebagai Tokoh Islam dunia dan Tak Pernah ada di era sebelumnya, kecuali ketika Bung Karno dan Gus Dur menjadi Presiden.
Presiden Jokowi tercatat mengalahkan Imam besar Al Azhar, Sheikh Ahmmad Muhammad Al-Tayyeb dari Mesir dalam daftar tokoh Islam versi themuslim500.com.
Tokoh Islam Paling Berpengaruh
Presiden Joko Widodo kembali masuk dalam daftar tokoh Islam paling berpengaruh di dunia tahun 2020. Bahkan Jokowi mengalahkan Imam besar Al Azhar, Sheikh Ahmmad Muhammad Al-Tayyeb dari Mesir.
Melansir situs themuslim500.com, Jokowi berada di peringkat ke-12 daftar tokoh muslim berpengaruh dari 50 tokoh Islam dunia. Sementara, Al-Tayyeb berada di posisi ke-13.
Padahal, Al-Tayyeb sempat menduduki peringkat pertama tokoh Islam paling berpengaruh pada tahun 2018.
Situs tersebut menyatakan Jokowi merupakan Presiden Indonesia yang kembali terpilih pada Pemilu 2019 dengan perolehan 55 persen suara. Pada pemilu 2019, Jokowi yang menggandeng Ma’ruf Amin melawan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Dalam Pemilu 2019, isu agama masih menjadi salah satu perbincangan. Bahkan, latar belakang agama Jokowi masih sempat dipertanyakan.
Selain Jokowi, terdapat dua ulama asal Indonesia yang juga masuk dalam daftar 50 tokoh Islam paling berpengaruh di dunia, yakni Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj dan Habib Luthfi bin Yahya.
Said Aqil menempati posisi ke-18 dalam daftar tersebut. Sedangkan, Habib Luthfi berada di posisi ke-32.
Artinya pandangan umat muslim secara Internasional menganggap perlakuan Pemerintah Terhadap umat islam adalah yang Terbaik sejak era Orde Baru.
Islam dan Rakyat Papua di Era Orde Baru
Pada Era Orde Baru perlakuan Terhadap umat islam dapat dinilai Paling rusak dan Paling biadab.
Bagaimana kaum Muslim diberondong peluru dalam insiden Tanjung Priok (1994); dibakar hidup-hidup dalam insiden Talang Sari (1991); dibunuh, disiksa, dan diperkosa selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer di Aceh (1988-1998) seakan cuma isapan jempol pasca-1998. Pada masa awal Reformasi, Soeharto ramai-ramai dikutuk bak spesies setengah-Dajjal.
Tiba-tiba kini sebagian orang ini menahbiskannya sebagai makhluk setengah wali. Kebutaan sejarah adalah satu hal. Bagaimana sejarah ditulis pada era Soeharto, adalah hal lain.
Jika kini ada banyak pihak, dengan alibi “pelurusan sejarah”, ingin merehabilitasi Soeharto, hal yang perlu diingat pertama-tama adalah sebagian besar orang tetap memperlakukan sejarah sebagai propaganda, alat legitimasi politik, ketimbang suatu disiplin yang berurusan dengan penyelidikan-penyelidikan masa lampau.
Kegagapan kita berhadapan dengan fakta-fakta keras berbagai kasus kekerasan politik di masa lalu yang tak kunjung diselesaikan, adalah buktinya.
Wajar jika, misalnya, Angkatan Darat tetap woles memajang spanduk berslogan “TNI lahir, tumbuh, dan kuat bersama rakyat,” meskipun tak sekali Angkatan Darat pernah menjadi mesin pembunuh rakyat yang paling mobile, brutal, paling efektif menjelang dan selama Soeharto berkuasa.
Tidak heran pula ketika rakyat Papua teriak “Merdeka”, segala macam argumen yang berlandaskan mitos tentang keagungan Majapahit dan Sriwijaya yang menitis ke Republik Indonesia segera dikerahkan.
Ada sebuah kutipan dari almarhum Daniel Bensaïd yang sempurna menggambarkan bagaimana fakta-fakta masa lampau direlatifkan melalui ingatan.
Sejarah yang Digelapkan
“Zaman dulu, sejarah menyensor memori. Hari ini, memori menyensor sejarah.”
Upaya merehabilitasi Soeharto dewasa ini, dengan segala mitos tentang kejayaan Orde Baru, rupanya lebih gawat dari yang dikatakan Bensaïd: ia lahir dari kombinasi penulisan sejarah yang cacat dan memori yang pendek.
Problem penulisan sejarah di Indonesia, imajinasi tentang Indonesia yang membentang dari Aceh hingga Tanah Merah (Papua) sejak 4.000 tahun silam digagas oleh dari Muhammad Yamin, yang selanjutnya berturut-turut, langsung atau tidak langsung, menormalisasikan aneksasi Papua Barat, Timor Timur, dan memberangus aspirasi separatis di Aceh.
Ada pun narasi sejarah yang mengglorifikasi Angkatan Darat sebagai juru selamat bangsa dipelopori oleh Nugroho Notosusanto bekas novelis yang kebetulan belajar sejarah dan kelak dipercaya sebagai arsitek sejarah Orde Baru.
Dalam History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past (2007) Katherine McGregor menyebutkan, pada awal 1972 Nugroho menyelenggarakan seminar Angkatan Darat yang mengeluarkan rekomendasi agar pers dan pekerja seni mempromosikan aspek militeris dari Revolusi 1945.
Setelah 1965, dari sinilah narasi publik tentang masa lalu bangsa dikontrol ketat oleh negara. Produk-produk hukum yang disahkan pasca seminar tersebut dapat dipahami sebagai bagian dari agenda pemerintahan Soeharto mengantisipasi potensi-potensi pembangkangan dan ketidakpuasan masyarakat di kemudian hari. Tapi Soeharto tidak sendirian.
Jagal kemusuk itu memang melegitimasi kekuasaannya dengan sejarah. Namun dibandingkan dengan Mussolini, Hitler, Stalin, dan para penguasa Eropa terdahulu, dia terhitung bocah.
Soeharto dan para intelektualnya hanya meniru tradisi penulisan masa lalu yang sudah berkembang di tempat lain. Salah satu aspek yang mencolok dari politik kebudayaan totaliter ultra-kanan adalah perayaan atas masa lalu yang dibangun berdasarkan mitos.
Problem dari imajinasi masa lampau ini seringkali sangat sederhana: tidak berbasis fakta, selain tentunya, terlalu percaya diri dan penuh dengan penipuan.
Jaman SBY adalah Kebangkitan Orde Baru
Begitu pula ketika pada masa Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), kita tak pernah melihat TNI disegani kecuali dengan beberapa operasi militer mengatasi kerusuhan yang saya pikir tidak jelas di Ambon, Poso, Aceh dan Papua semuanya tak menghasilkan sesuatu peranan yang tuntas, semua pihak menganggap menyelesaikan permasalahan dengan dialog tapi mayarakat tak pernah tau siapa yang menjadi kawan dan siapa yang menjadi lawan.
Buktinya organisasi yang jelas-jelas anti Pancasila, masih terus dibiarkan hidup seperti FPI dan HTI.
Jelas Itu semua karena mereka tidak konsisten memperjuangkan kedaulatan rakyat dan mempertahankan ideologi Pancasila.
Baru di jaman Jokowi, kita bisa membandingkan mana yang Islam sesungguhnya dan mana Islam politik, mana politisi nasionalis dan mana politisi busuk yang mempertahankan budaya mainstream.
Terlalu banyak kerusakan yang dibuat para political mainstream sehingga yang sudah mengakar ke dalam pikiran masyarakat dan kita sebagai rakyat Indonesia yang mempunyai jumlah penduduk 260 juta pun, tak bisa memilih wakil rakyat berkualitas karena ukuran melenggang ke parlemen pun hanya populeritas dan jumlah suara.
Jadi partai politik takkan pernah mampu membuat kader yang berkualitas jika dikalahkan tampang penyanyi dan bintang film dan money politics walau pun tak mampu menjadi wakil rakyat .
Kita harus terus menjaga Jokowi yang saat ini menjadi satu-satunya figur yang bisa diharapkan untuk sepenuhnya menerapkan kedaulatan rakyat dan Pancasila serta UUD 45 secara murni dan konsekuen.
Islam adalah Rahmatan Lil Alamiin dan Toleran
Rasulullah SAW memberi contoh nyata toleransi Islam terhadap umat beragama lain. Piagam Madinah (Kitabun Nabi) yang dibuat oleh Muhammad Rasulullah SAW selaku kepala negara Islam pada tahun 1 Hijriyah/622 Masehi merupakan produk paling gemilang dalam sejarah yang merefleksikan semangat toleransi Islam.
Di bawah naungan kekuasaan Islam di zaman Nabi, orang-orang Yahudi dan Nasrani menikmati kebebasan yang maksimal dalam menjalankan kewajiban agamanya seperti kebebasan yang diberikan kepada orang-orang Islam sendiri.
Pemimpin dan intelektual Islam, Mohammad Natsir (1908-1993) menulis, ”Piagam Madinah adalah satu penjelmaan yang nyata dari prinsip kemerdekaan beriktikad dan beragama menurut ajaran Islam. Posisi mayoritas menurut kita umat Islam, bukan untuk menindas minoritas, tapi justru untuk melindungi hak-hak mereka.” (Keragaman Hidup Antar Agama, Jakarta, 1968).
”Allah tidak melarang kamu berhubungan baik dengan orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu untuk menjadikan kawan orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu atau membantu (orang-orang lain) untuk mengusirmu. Dan siapa yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS Al Mumtahanah: 8-9).
Pada ayat suci di atas terangkum prinsip ajaran Islam yang menggariskan kode etik hubungan umat Islam dengan pemeluk agama lain.
Kode etik ini merupakan penjabaran dari prinsip Islam bahwa perbedaan suku bangsa, warna kulit, bahasa, dan keyakinan keagamaan di antara umat manusia merupakan satu fakta kehidupan yang tidak dapat dihindari dan tidak perlu dilenyapkan.
Kembali kepada ideologi bangsa Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 bahwa kedaulatan Rakyat Indonesia adalah milik seluruh warga negara orang per orang tanpa diskriminasi.
Jadi yang wajib kita jaga adalah Bhineka Tunggal Ika dan kedaulatan rakyat, bukan pendapat-pendapat bodoh yang menguntungkan kelompok apalagi para politisi busuk.
Salam Kedaulatan Rakyat!!!